Sekali lagi ternyata saya harus menuliskan tentang karya Pak S.H Mintardja yang lain, yang merupakan karya terpanjang beliau - yang bahkan belum sempat terselesaikan hingga saat-saat terakhir dari Pak S.H Mintardja. Serial tersebut saat ini masih dimuat secara bersambung di Harian Kedaulatan Rakyat. Apa lagi kalau bukan serial monumental Api di Bukit Menoreh. Meskipun pada awalnya saya ragu untuk membaca kisah ini karena beberapa hal: kisahnya yang sangat panjang yang tak terselesaikan itulah yang sempat membuat saya ragu. Tapi, apa daya, godaan karya-karya Pak Mintardja memang sulit dilawan.
Setelah beberapa seri terbaca, ternyata serial Api di Bukit Menoreh ini memiliki sedikit hubungan, bahkan jika boleh dikatakan merupakan sambungan dari kisah populer lainnya, Nagasasra dan Sabuk Inten. Jika Nagasasra dan Sabuk Inten berlatar era Demak akhir, maka Api di Bukit Menoreh berlatar era yang lebih muda yaitu Pajang akhir hingga Mataram. Selain karena Pajang dan Mataram sendiri memang kepanjangan dari Demak, dalam kedua kisah tersebut sempat dituliskan, meskipun sedikit kaitan antara kedua kisah legendaris tersebut.
Terlepas dari hubungan antara kedua kisah tersebut, serial Api di Bukit Menoreh memang lebih kompleks dari Nagasasra dan Sabuk Inten. Kisah Nagasasra dan Sabuk Inten terpusat pada usaha tokoh utama, Mahesa Jenar yang berusaha menemukan kedua pusaka kerajaan tersebut. Berbeda dengan kisah yang lebih panjang, Api di Bukit Menoreh yang pada awalnya terpusat pada perselisihan antara Pajang dan Jipang, kemudian bergeser ke Mataram. Namun persamaan dari kedua kisah tersebut adalah adanya satu tokoh penting yang memiliki hubungan langsung dengan Majapahit. Dalam hal ini keturunan Raja Majapahit terakhir: Pangeran Buntara di Nagasasra dan Sabuk Inten, kemudian Pamungkas alias Kiai Gringsing di Api di Bukit Menoreh.
Persamaan yang lainnya, terdapat tokoh fiksi yang menjadi kawan karib dari tokoh nyata. Pada serial Api di Bukit Menoreh, tokoh utama Agung Sedayu merupakan kawan karib dari Raden Sutawijaya alias Raden Ngabehi Loring Pasar alias Panembahan Senopati, serta Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Kemudian ada juga tokoh protagonis lain Glagah Putih yang berkawan karib dengan Raden Rangga, putra Panembahan Senopati. Sementara di kisah Nagasasra dan Sabuk Inten, tokoh protagonis bernama Arya Salaka - yang kemudian disebut Ki Gede Banyubiru di serial Api di Bukit Menoreh - merupakan kawan karib Jaka Tingkir semasa muda.
Karakter-karakter setiap tokoh juga sedikit banyak mirip satu sama lain. Meski begitu, kesan dan nuansa antara kedua kisah tersebut tidaklah sama. Dalam hal kesan dan nuansa, kisah Nagasasra dan Sabuk Inten terasa lebih kuat daripada Api di Bukit Menoreh. Tentu saja kita ingat bahwa tokoh utama di serial Nagasasra dan Sabuk Inten, Mahesa Jenar sempat dianggap sebagai tokoh nyata yang benar-benar ada. Terkait hal ini, diyakini oleh beberapa orang, di lereng Merapi terdapat sebuah tempat yang pernah digunakan oleh kakak beradik Ki Kebo Kanigara, Ki Kebo Kenanga - ayah Jaka Tingkir, dan seorang prajurit Demak bernama Rangga Tohjaya sebagai tempat pertemuan. Rangga Tohjaya sendiri merupakan nama keprajuritan Mahesa Jenar. Selain itu masih banyak hal lainnya.
Kesan lain yang menunjukkan bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten lebih kuat dari Api di Bukit Menoreh adalah perwatakan tokoh utama, dalam hal ini Mahesa Jenar dan Agung Sedayu. Mahesa Jenar ini bisa dianggap sebagai orang dengan sifat-sifat idaman para pria: cerdas, teguh pendirian, kuat, tenang, santun, tidak mudah marah, tak mengenal takut membela kebenaran, kebapakan, sangat menghormati orang tua, namun agak tertutup dengan wanita. Sementara Agung Sedayu memiliki watak yang lebih kompleks: pada awalnya seorang yang sangat penakut, bahkan sangat akut. Kemudian karena suatu hal wataknya berubah menjadi pemberani, penuh perhitungan yang cenderung ragu-ragu, tenang, cerdas, pemalu di hadapan wanita, dan yang sangat ditonjolkan di karakter Agung Sedayu ini, tidak mudah marah bahkan cenderung tidak bisa marah walau dipancing dengan cara apapun. Meski dalam beberapa kesempatan Agung Sedayu ini merasa tersinggung, tetapi tidak pernah meledak-ledak seperti Mahesa Jenar.
Kemudian yang bisa dibandingkan lagi antara keduanya adalah kemampuan beladiri alias kanuragan. Mahesa Jenar sejak awal memang dikisahkan merupakan tokoh yang memiliki kemampuan tinggi, sementara Agung Sedayu dikisahkan merupakan seorang yang penakut meskipun memiliki kemampaun bidik yang luar biasa sehingga bisa membidik panah yang sedang dilepaskan dari busurnya. Kemudian sejalan dengan kisah yang berkembang, Mahesa Jenar mendapatkan kemampuan yang luar biasa setelah bertemu dengan Ki Kebo Kanigara. Sementara Agung Sedayu meskipun juga belajar secara bertahap, namun kemampuannya tiba-tiba melompat sangat tinggi. Jika Mahesa Jenar sangat terlihat sebagai murid satu perguruan, dalam hal ini Perguruan Pengging, maka Agung Sedayu memiliki berbagai ilmu dari berbagai cabang perguruan. Jika Mahesa Jenar hanya memiliki satu ilmu andalan yang disebut Sasra Birawa plus tubuhnya yang kebal racun, maka Agung Sedayu memiliki berbagai ilmu diantaranya Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari, Ilmu meringankan tubuh, ilmu kebal, kebal racun, lontaran tenaga melalui sorot matanya, serta ilmu puncak dari perguruan Orang Bercambuk alias Perguruan Windujati.
Namun, mungkin karena berbagai ilmu nggegirisi tersebutlah yang menjadikan pertarungan di Api di Bukit Menoreh kurang bisa dicerna akal. Berbeda dengan Nagasasra dan Sabuk Inten, yang benar-benar memberi kesan bahwa Mahesa Jenar adalah orang yang perkasa dan tangguh. Pertarungan yang benar-benar beradu fisik dan tenaga dalam yang masuk akal, sementara pertarungan di kisah Api di Bukit Menoreh terkesan ngayawara: "tiba-tiba muncul selorot sinar dari mata Agung Sedayu yang menghantam dada, seolah-olah meremas jantung....". Selain dari mata, juga terdapat tokoh yang bisa melontarkan sinar dari telapak tangannya. Memang, terkadang terdapat kalimat-kalimat berlebihan untuk menggambarkan pertempuran, seperti "dadanya seakan-akan tertindih gunung" atau "segores kecil berarti sentuhan maut", namun sekali lagi kesannya berbeda.
Tetapi uniknya, setidaknya ini menurut saya sendiri, kedua tokoh tersebut yaitu Mahesa Jenar dan Agung Sedayu, muncul dalam kisah karya Pak S.H Mintardja yang lain, yaitu Tanah Warisan. Meskipun tidak sama persis, tetapi terasa bahwa kedua tokoh tersebut muncul secara perwatakan di dalam diri kedua tokoh utama di Tanah Warisan, yaitu kakak beradik Panggiring dan Bramanti. Panggiring cenderung mirip seperti Mahesa Jenar, sementara Bramanti sedikit banyak mirip dengan Agung Sedayu. Secara pribadi saya tidak tahu mana kisah yang terlebih dulu ada dari ketiga kisah itu, namun terasa bahwa tokoh utama dari ketiga kisah tersebut memang mirip. Sementara, watak serta sifat yang mirip seperti kedua tokoh itu tidak terdapat dalam kisah yang lain, seperti sebut saja Meraba Matahari.
Tokoh lain yang juga mirip adalah Rara Wilis di Nagasasra dan Sabuk Inten serta Pandan Wangi di Api di Bukit Menoreh. Kedua tokoh ini sangat mirip, baik itu watak dan sifat serta kemampuan kanuragan yang sama-sama menggunakan pedang sebagai senjata andalan. Keduanya digambarkan sebagai gadis cantik, sedikit pendiam, tidak mudah mengutarakan sesuatu, dan berilmu tinggi. Pada akhirnya Rara Wilis menikah dengan Mahesa Jenar, sementara Pandan Wangi menikah dengan Swandaru, adik seperguruan Agung Sedayu. Kemudian ada juga kakak beradik Ki Gajah Sora dan Ki Lembu Sora di Nagasasra dan Sabuk Inten, dengan kakak beradik Ki Argapati dan Ki Argajaya. Konflik kedua kakak beradik itupun sama: sang adik menyerbu tanah kelahirannya sendiri akibat hasutan tokoh antagonis. Kisah akhirnya juga sama, kedua adik tersebut menyadari kesalahan dan menjadi tokoh baik. Tokoh Sawung Sariti di Nagasasra dan Sabuk Inten juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan Sidanti di Api di Bukit Menoreh.
Namun yang cukup berbeda adalah pertempuran di Api di Bukit Menoreh tidak selalu pertempuran klasik antara baik dan jahat. Pada perang antara Pajang dan Mataram, meskipun ada beberapa tokoh jahat namun perang itu terkesan "sopan", karena Mataram yang masih menghormati Pajang. Juga perang antara Mataram dan Madiun, yang juga perang antara keluarga. Perang antara Mataram dan Pati juga tidak memberi kesan perang yang kejam, karena di tengah-tengah peperangan terdapat dialog-dialog yang tidak memberikan kesan saling membenci satu sama lain.
Bagaimanapun juga, kisah Api di Bukit Menoreh memang sangat menarik untuk diikuti, terutama bagi penggemar kisah silat. Di sisi lain kisahnya yang belum terselesaikan tentu saja akan memberikan permasalahan tersendiri, meskipun beberapa penggemar telah berusaha melanjutkan kisah ini sesuai versi mereka sendiri. Sampai detik ini saya belum juga selesai membaca kisah petualangan Agung Sedayu karena memang benar-benar panjang. Sementara saya membaca versi digital yang membuat mata cepat lelah jika dipaksakan memandangi layar komputer terlalu lama.
Mungkin jika ada waktu saya juga ingin menuliskan lanjutan serial Api di Bukit Menoreh menurut versi saya sendiri. Bisa jadi akan seperti ini: Agung Sedayu mengundurkan diri dari prajurit Mataram kemudian pindah dari Tanah Perdikan Menoreh dan menyepi ke sisi timur Sungai Progo di sebelah selatan. Atau ia tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh namun memilih diam ketika Mataram terlibat ketegangan dengan Tanah Perdikan sisi timur Sungai Progo tersebut.
Atau mungkin juga tidak seperti itu. Atau malah tidak meneruskan sama sekali....