Di dalam
pengetahuan masyarakat Jawa, daerah perdikan merupakan daerah yang termasuk
wilayah kerajaan, tetapi bebas dari pajak. Itulah yang selama ini terbayang
jika mendengar istilah “daerah perdikan”. Terma “perdikan” memang dekat baik
secara lisan maupun tertulis dengan kata “merdika” yang kemudian diserap ke
dalam Bahasa Indonesia, “merdeka”.
Akan tetapi
pada kenyataannya tidaklah seperti itu. Daerah perdikan yang dahulu disebut
sebagai “sima” masih mempunyai tanggung jawab terhadap penguasa, meskipun tidak
seperti daerah-daerah lain. Bisa dibilang daerah perdikan merupakan “daerah
istimewa” di masa lalu. Dan penetapan suatu daerah menjadi daerah perdikan
bukan semudah yang dipikirkan, karena terdapat upacara-upacara yang dilakukan
khusus di daerah yang akan ditetapkan menjadi daerah perdikan tersebut.
Kemudian, daerah tersebut mendapat semacam “piagam” berupa prasasti pengukuhan
kepada daerah tersebut yang diletakkan di suatu tempat di daerah itu.
Di dalam
buku tentang Mangir yang diterbitkan Pemkab. Kabupaten Bantul beberapa tahun
lalu, disebutkan bahwa Mangir merupakan daerah perdikan sejak jaman Majapahit.
Jika demikian, bolehlah kiranya salah satu sumber sejarah tentang daerah ini
menjadi salah satu sumber penelitian, yaitu Babad Mangir. Babad Mangir yang
anonim alias tidak diketahui pengarangnya merupakan kisah berbentuk tembang
yang memang lazim digunakan pada era peralihan Hindu-Islam, atau era
pascamajapahit untuk menjelaskan tentang suatu daerah atau tokoh tertentu.
Disebutkan
dalam Babad Mangir bahwa Raden Alembumisani, leluhur Ki Ageng Mangir Wanabaya IV,
yang merupakan putra Prabu Brawijaya V memilih menyingkir dari Majapahit dan
mempunyai seorang putra yang diberi nama Dyan Wanabaya, di daerah Dander, yang
berada di Ardi Kidul (ardi: gunung, ardi kidul: gunung kidul - ?). Kemudian
Dyan Wanabaya yang menjadi Raden Wanabaya menyepi di Gua Langse. Di dalam gua
itulah, Raden Wanabaya mendapat bisikan supaya pergi ke arah ngalor ngulon (barat laut) ke sebuah
daerah bernama Mangir yang berada di pinggir Sungai Progo.
Berdasarkan
penelitian dari berbagai prasasti yang menyatakan bahwa sebuah daerah perdikan
ditetapkan dengan upacara dan piagam penetapan berupa prasasti, maka Mangir
kemungkinan besar juga mempunyai prasasti yang menjadi piagam tersebut. Penetapan
suatu daerah di masa lalu menjadi sebuah daerah perdikan juga mempunyai
kriteria, diantaranya adalah daerah tersebut pernah berjasa kepada kerajaan
sehingga kerajaan memberi imbalan kepada rakyat di daerah tersebut berupa
“sima” atau perdikan (Boechari, Tracing Indonesian History Trough Inscriptions,
2012).
Dengan
demikian, apakah di masa lalu pernah Mangir berjasa kepada Majapahit sehingga mendapat
hadiah menjadi daerah perdikan? Tentunya di daerah tersebut sudah ada tokoh
yang menonjol sebelum kedatangan Raden Wanabaya ke Mangir. Siapakah tokoh itu
jika memang benar-benar ada? Dan yang paling penting, dimanakah piagam
penetapan jika mengacu pada penelitian di atas (penemuan naskah Babad Mangir
ada di lokasi yang cukup jauh dengan pusat pemerintahan, sekitar 2 atau 3 km ke
arah timur, di daerah sekitar Jl. Samas, Bantul). Bukan tidak mungkin prasasti
itu berada di lokasi yang juga jauh dari pusat pemerintahan, karena di masa
lalu daerah Mangir cukup luas, berbeda dengan Mangir sekarang yang hanya
terdiri dari tiga pedukuhan, Mangir Lor, Tengah, dan Kidul.
Perhatian
lebih mungkin bisa ditujukan kepada seseorang yang disebut dalam Babad Mangir,
bernama Ki Paker yang akhirnya menjadi ayah mertua Ki Ageng Mangir IV. Mungkin
ia adalah tokoh yang menonjol di Mangir sebelum kedatangan Raden Wanabaya dari
Gunungkidul ke Mangir.
0 comments:
Post a Comment