Sunday, January 15, 2012

Pluralisme dan Apresiasi Budaya

Tak ada Negara di dunia ini yang ditinggali oleh lebih dari sepuluh macam suku bangsa yang berbeda, kecuali Indonesia. Bahkan Pulau Irian, pulau di ujung timur Indonesia, mempunyai lebih dari sepuluh macam suku bangsa yang berbeda. Belum lagi suku-suku yang tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan pulau-pulau yang lainnya. Semua itu mengakibatkan Indonesia mempunyai beragam jenis bahasa daerah, serta kebudayaan yang berbeda antara satu sama lainnya, meskipun beberapa di antaranya memiliki persamaan.

Kenyataan itu seharusnya membuat masyarakat Indonesia lebih menghargai perbedaan, tidak saling mencela antara satu dengan yang lainnya. Leluhur nusantara telah memberi contoh bagaimana saling menghargai perbedaan, yang telah terjadi sejak masa lampau, ketika kekuasaan nusantara masih berpindah-pindah dari suatu kerajaan ke kerajaan lain. Satu contoh yang paling jelas, dan masih bisa dijumpai sampai saat ini adalah sebuah kitab peninggalan Majapahit yang ditulis oleh Mpu Tantular. Kitab yang dikenal dengan sebutan Kakawin Sutasoma ini merupakan contoh yang bagus dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang sangat terkenal.
Bahkan Raja saat itu, yaitu Hayam Wuruk diketahui mempunyai agama yang berbeda dengan rakyatnya, namun oleh sang Raja hal tersebut tidak menjadi masalah, dan bahkan mereka bisa hidup berdampingan antara umat beragama. Betapa itu menjadi contoh yang baik ketika Indonesia saat ini mengalami hal serupa, atau bahkan bisa dibilang lebih kompleks karena Negara ini mengakui lima macam agama resmi. Semakin membingungkan ketika dalam satu agama terdapat kelompok-kelompok eksklusif yang hanya bergaul dengan kelompoknya sendiri. Negara mempunyai tugas untuk menyatukan mereka, minimal membuat masyarakat merasa aman dengan keyakinannya sendiri.
Indonesia, Negara besar dengan beragam suku bangsa, agama, serta budaya. Jika mengingat apa yang terjadi pada 28 Oktober 1928, ketika sekelompok pemuda dari berbagai daerah sepakat untuk mengumumkan sebuah sumpah, yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda, dengan menanggalkan status Sumatra, Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi-nya, melebur menjadi satu sebagai Indonesia, maka apa yang terjadi sekarang ini seperti mengingkari sumpah pemuda. Tidak ada keegoisan individu yang terjadi dalam penyusunan sumpah pemuda. Jawa, sebagai suku terbesar, tidak mau menggunakan alasan tersebut sebagai alasan untuk digunakannya bahasa jawa sebagai bahasa nasional. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa melayu.
Jika dibandingkan dengan saat ini, seakan semangat sumpah pemuda mulai luntur oleh infiltrasi budaya-budaya dan paham-paham asing. Individualis, kapitalis, hedonis, adalah beberapa budaya asing yang saat ini mulai akrab menemani masyarakat Indonesia, mulai dari pemuda hingga orangtua, dari rakyat sampai pejabat. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Dalam sebuah buku yang menarik berjudul “Wawancara Dengan Gus Dur dari Alam Kubur” yang ditulis oleh Syaikh Pandrik, seorang pemuda yang diberi kelebihan oleh Allah SWT berupa kemampuan berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Ia mewawancarai Gus Dur pada Sembilan hari kematiannya tentang apa yang terjadi di Indonesia, dunia politik sampai masalah Obama. Ketika ia bertanya sikap apa yang harus dipunyai oleh pemuda Indonesia kepada Gus Dur, beliau menjawab bahwa pemuda Indonesia harus lebih mengapresiasi budaya dan saling menghargai perbedaan (pluralisme). Mungkin terdengar janggal, tapi ambillah apa yang ingin disampaikan, bahwa Indonesia adalah Negara dengan berbagai macam suku dan agama, jika diantara masyarakat tidak ada rasa saling menghargai, maka apa yang akan terjadi dapat dibayangkan.
Selain pluralisme, sikap yang harus dipunyai oleh pemuda Indonesia adalah sikap apresiasi budaya. Budaya Indonesia selama ini hanya seputar keris dan batik. Budaya tidak sesempit itu. Budaya adalah sebuah sikap, perilaku, yang harus ada di dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, sikap individualistis adalah sebuah budaya asing yang anehnya masyarakat Indonesia mampu mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah. Hal itu karena budaya asing adalah budaya yang menitikberatkan pada hal-hal duniawi, sementara budaya Indonesia juga menyentuh hal-hal yang bersifat spiritual. Sementara sekarang merupakan zaman modern yang tidak hanya membutuhkan rasionalitas. Hal itu menyebabkan hal-hal yang berbau spiritual mulai ditinggalkan. Parahnya, spiritual digunakan oleh sutradara-sutradara asing yang menyempitkan spiritual hanya mengenai hantu, dengan berbagai macam film horor berdampur adegan porno tidak berkualitas yang merusak mental masyarakat Indonesia.
Jika diamati, kebanyakan orang-orang asing (barat) merupakan orang atheis. Mereka tidak mengakui Tuhan. Tuhan mereka adalah uang dan waktu. Mengapa hal tersebut bisa terjadi, karena mereka adalah orang yang tidak pernah mendapatkan sentuhan spiritual. Mereka terkurung dalam sangkar modernitas yang mengagungkan rasionalitas. Mereka hanya mengurusi apa yang terlihat, sementara Tuhan tidak terlihat.
Sebuah keuntungan sebenarnya menjadi orang Indonesia. Negeri ini merupakan negeri yang seandainya dikelola dengan baik maka Amerika pun tidak ada apa-apanya. Seorang ilmuwan Brasil bahkan menyebut bahwa Kepulauan Indonesia merupakan sisa-sisa peradaban Atlantis dengan berbagai macam penelitian. Mungkin hal itu ada benarnya, karena di Jawa Barat baru-baru ini ditemukan piramida yang lebih tua dari piramida di Mesir. Entahlah.
Apresiasi budaya, sebuah sikap yang penting untuk mengembalikan Indonesia yang sebenarnya. Apresiasi budaya dapat dimulai dari hal-hal kecil seperti menggunakan bahasa daerah masing-masing, terutama pada balita. Indonesia mengenal L1 (bahasa ibu, bahasa daerah), L2 (bahasa Indonesia), dan L3 (bahasa asing). L1 merupakan bahasa ibu, yaitu bahasa daerah masing-masing. Bisa bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Batak, dll. Akan lebih baik mengajarkan bahasa daerah terlebih dahulu daripada langsung diajari bahasa Indonesia. Mempelajari bahasa daerah tidak hanya akan mampu berkomunikasi dengan baik, tapi juga akan mendapatkan hal lain, yaitu sopan santun. Tidak hanya bahasa jawa saja yang bertingkat, tapi juga bahasa sunda, batak, dll.
Dunia sastra juga merupakan salah satu media yang baik sebagai sarana untuk mengapresiasi budaya. Seperti yang diketahui bahwa sastra daerah tidak hanya memuat unsur hiburan, tetapi juga tuntunan bagi manusia tentang bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia ini. Akan tetapi, misalnya jika orang jawa hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa jawa ngoko, maka ia akan kesulitan ketika membaca karya sastra jawa, karena sastra jawa ditulis dengan bahasa jawa yang indah.
Akhirnya, kedua sikap tersebut memang penting bagi kelangsungan Negara ini ke depannya. Tidak perlu saling mencela, memusuhi hanya karena perbedaan agama, perbedaan kulit atau perbedaan-perbedaan yang lainnya. Jangan menyempitkan kebudayaan hanya pada sebatas keris, batik ataupun seni, karena selama ini budaya Indonesia identik dengan ketiga hal tersebut. Budaya Indonesia adalah sebuah sikap saling menghargai perbedaan, serta sikap kebersamaan dalam kondisi apapun. Budaya Indonesia bukanlah budaya individualis, materialis, kapitalis, ataupun hedonis. Budaya Indonesia adalah kebersamaan dan kesederhanaan. 

2 comments:

  1. kata MUI pluralisme itu haram, demikian juga dengan sekularisme dan liberalisme = Sepilis. Indonesia itu pluralitas, bukan pluralisme. baca aja definisi pluralisme di wikipedia.
    salam :)

    ReplyDelete
  2. @Mas Ryan: hehe mohon maaf jika saya nulis tanpa baca-baca informasi dari sumber yang seharusnya bisa melengkapi tulisan itu..
    moga2 tulisan itu tidak menyesatkan, maturnuwun koreksinya..mampir lagi boleh loh..hehehe

    ReplyDelete

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger