Rasanya tak ada habisnya ketika membicarakan sejarah. Sejarah tak melulu tentang pertempuran, perang, ataupun masa-masa sulit. Tak jarang sejarah juga mempunyai sisi yang sangat kita rindukan. Apalagi ketika sejarah tersebut sangat membekas di hati kita, seperti ingatan kita ketika suatu hari di masa lalu untuk pertama kalinya kita mandi di sungai dan hampir tenggelam. Tulisan saya kali ini adalah untuk mengajak pembaca sekalian mengingat apa yang terjadi di masa lalu, di sekitar kita, apa yang kita rasakan dan masih kita ingat.
Ingatan manusia memang terbatas. Ingatan manusia akan terhapus secara otomatis ketika manusia telah mencapai umur tertentu. Oleh karena itu kadang kita tidak bisa mengingat kapan tepatnya kita pertama kali berjalan, dan seterusnya. Kemudian kita tahu karena cerita-cerita dari orang-orang di sekeliling kita, seperti orangtua, saudara, serta tetangga-tetangga kita.
Sejarah, identik dengan masa-masa sulit. Mungkin hal itu ada benarnya. Mungkin kita masih ingat ketika suatu waktu kita berkumpul di rumah seseorang yang bisa dibilang mapan, kemudian mendengarkan siaran wayang kulit atau kethoprak di radio. Atau pertandingan sepakbola dan bulutangkis di televisi, yang di masa itu merupakan bawang yang langka.
Dahulu orang-orang berkumpul untuk menyaksikan siaran televisi. Sekarang, orang-orang berkumpul untuk menonton film di bioskop.
Bioskop, sebuah tempat dimana kita bisa menyaksikan film-film dengan layanan teknologi tinggi seperti 3D serta kualitas suara yang menawan. Hal itu tak mengherankan, karena kemajuan zaman-lah yang menuntut hal-hal tersebut. Akan tetapi kita mungkin masih ingat dengan “bioskop” asli Indonesia, yang di masa lalu sempat populer karena mampu menyajikan film-film berkualitas. Layar tancap, atau yang disebut dengan Sorot, adalah bioskop khas Indonesia yang tidak kalah dengan bioskop modern.
Jika bioskop modern mempunyai popcorn sebagai cemilannya, maka sorot mempunyai kacang tanah rebus sebagai cemilannya. Jika bioskop modern disajikan di ruangan tertutup, maka sorot dapat disaksikan di luar ruangan alias ruangan terbuka. Jika di bioskop modern penonton dilarang ribut, maka penonton sorot dipersilakan untuk berteriak-teriak atau tertawa sepuasnya. Jika untuk masuk ke bisokop kita harus membayar, maka penonton sorot tidak dikenai biaya apapun alias gratis. Itulah sedikit perbandingan antara sorot dan bioskop.
Sorot, sebuah hiburan bagi masyarakat di masa lalu. Sekitar sehari sebelum waktu pemutaran, biasanya akan ada pengumuman keliling yang memberitahu masyarakat. Sorot biasanya diadakan di lapangan atau tempat yang luas. Ketika memasuki tempat pertunjukan, kita akan disuguhi dengan pemandangan seperti ini: beberapa penjual kacang tanah rebus yang hanya diterangi dengan lampu teplok. Mereka tersebar di penjuru arena. Para penonton yang mempunyai perilaku hampir sama: duduk meringkuk dengan sarung yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata untuk menahan dingin. Karena sorot selalu malam hari.
Film-film yang diputar pun merupakan film-film berkualitas seperti Tutur Tinular, Brama Kumbara, ataupun Walet Merah. Satu hal menarik selama pemutaran film, biasanya suara film bercampur dengan mesin diesel yang digunakan untuk menyalakan lampu penerangan.
Sorot, layar tancap, atau apalah sebutannya, pernah menjadi sebuah primadona di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi karena keberadaannya mulai tergusur oleh bioskop modern yang berteknologi tinggi, saat ini hampir tidak ada lagi pertunjukkan sorot. Sorot di masa lalu merupakan bagian dari kekayaan budaya kita, yang sayangnya tidak ada upaya untuk melestarikan pertunjukan tersebut. Akan sangat menarik jika kita mampu memperkenalkan sorot pada anak-anak yang kurang beruntung karena belum sempat menikmati kehangatan pertunjukkan sorot di malam yang dingin.
0 comments:
Post a Comment