Monday, May 2, 2011

Melestarikan atau Sekedar Gaya?

Inilah yang sebenarnya ingin saya bagi, sekedar pengamatan (sederhana) namun bagi saya agak sedikit membuat miris. Beberapa hari lalu tepatnya pada Hari Kartini, serentak presenter acara-acara hiburan televisi mengenakan busana daerah (Jawa, karena Kartini berasal dari Jepara, Jawa Tengah). Mungkin itu bagus, tetapi ternyata setelah diamati dengan lebih seksama, ternyata terdapat beberapa kejanggalan dalam mengenakan busana-busana adat Jawa tersebut.
Kejanggalan dalam pemakaian busana adat yang sangat mencolok adalah penggunaan blangkon. Blangkon yang seharusnya dipakai untuk menutup rambut, dipakai hanya di bagian belakang, sehingga rambut bagian depan terlihat begitu jelas. Tak jarang dipakai agak miring. Tampaknya hal-hal seperti itu kurang diperhatikan oleh praktisi hiburan di Indonesia. Memang benar acara-acara seperti itu (musik, komedi, dll) adalah acara untuk menghibur, tetapi tempatkanlah suatu hal dengan benar. Jika pemakaian busana daerah oleh artis dapat digunakan untuk memasyarakatkan busana adat, tidak masalah. Malah bagus. Hanya saja, pakailah dengan benar, menurut aturan, karena busana adat mempunyai beberapa peraturan dalam penggunaan (khususnya busana Jawa).
Kejanggalan lain adalah pemakaian kain jarik (jarit). Kain jarik mempunyai beberapa aturan dalam pemakaiannya. Sebagai contoh, bagi pria lipatan (wiru) berada di sebelah kanan. Hal itu merupakan simbol bahwa pria harus selalu melindungi wanita dengan ada di sebelah kanan. Sebaliknya, bagi wanita lipatan berada di sebelah kiri. Merupakan simbol bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri pria. Sedangkan pada beberapa hari lalu, kain jarik hanya dipakai seperti memakain kain sarung. Tak ada lipatan. Memang hal-hal seperti itu cukup rumit, tetapi paling tidak dengan mengetahui hal yang paling mendasar, kecelakaan-kecelakaan seperti itu dapat dihindari.
Satu hal lagi yang paling mencolok berkaitan dengan kain jarik. Di sebuah acara komedi yang sangat populer di kalangan masyarakat, salah seorang komedian mengenakan kain jarik bermotif “Parang Rusak”, sebuah motif batik khas Yogyakarta. Motif ini di masa lalu hanya digunakan oleh Sultan. Yang sangat mengejutkan adalah komedian itu memakai kain terbalik, yang seharusnya di atas berada di bawah. Batik motif “Parang Rusak” adalah motif batik “Parang” yang digabung dengan motif “Gurda” (seperti dua buah sayap). Jadi motif “Gurda” menjadi terbalik. Hal ini sangat jelas terlihat.
Ada apa sebenarnya? Apakah hal tersebut merupakan ketidaktahuan? Dari sekian banyak orang yang terlibat dalam sebuah acara, tidak adakah satupun yang memperingatkan atau mengingatkan?
Sebenarnya hal tersebut bagus, artis-artis sebagai idola masyarakat melestarikan budaya. Tetapi apa jadinya jika usaha melestarikan budaya menjadi sebuah ajang untuk gaya-gayaan? Harap diingat bahwa budaya Indonesia adalah budaya yang bermakna dalam. Budaya tersebut diwakili dalam tiga simbol: simbol religi, simbol tradisi, dan simbol seni (baca postingan saya yang lalu: Pagan di Dunia Kejawen). Jika ada yang berdalih bahwa simbol-simbol tersebut menyebabkan kebudayaan Indonesia adalah budaya yang kaku, kolot, ataupun kuno, tidak masalah. Sesuatu yang kurang tepat harus dibenarkan, itu adalah pesan yang selalu diajarkan kepada manusia, sejak kecil.
  

2 comments:

  1. mantap ngene kok tulisane.. luwih apik nulis buku wae ki :D

    ReplyDelete
  2. Trimakasih infonya...sangat membantu .kebetulan saya penjahit .sedang banyak order jahit jarit instan langsung pakai.bisa lebih hati hati sehingga gordanya nggak kebalik...

    ReplyDelete

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger