Sunday, June 26, 2011

Menyusun Kembali Sastra Kuno


Karena sebuah kesalahan teknis, catatan yang sebenarnya telah terkumpul sebanyak satu lembar hilang tak berbekas. Dicari dengan berbagai cara pun tak ketemu. Alhasil, saya terpaksa mengulang apa yang telah saya ketik beberapa hari lalu, tentunya dengan beberapa perbedaan dengan catatan saya yang lalu.
Catatan ini sebenarnya merupakan tanggapan atas pertanyaan, mengapa banyak tudingan-tudingan tentang sikap pasif generasi muda terhadap kebudayaan? Bahwa generasi muda sekarang lebih tertarik dengan kebudayaan barat, hal tersebut memang benar. Akan tetapi, jika dicermati, ibarat ada asap ada api, ada akibat tentu ada sebab yang mendasarinya.
Perkembangan kebudayaan barat sangat pesat di Nusantara. Peran media komunikasi macam televisi sangat besar, dalam hal memperkenalkan kebudayaan barat, lewat film-film, musik, dan acara-acara lain. Masyarakat kita adalah masyarakat yang lebih mudah menyerap sesuatu lewat visual, lewat apa yang terlihat oleh mata, dan itu mudah terekam dalam benak. Berbeda dengan tulisan. Masyarakat kita cenderung sulit mencerna apa yang tersirat dalam sebuah tulisan.
Kemudian, penetrasi-penetrasi kebudayaan barat tersebut masuk ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dengan dijadikannya Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, mau tidak mau orang-orang dari berbagai penjuru dunia mempelajari bahasa ini. Tak terkecuali masyarakat Indonesia. Melalui sekolah-sekolah, model Sekolah Berstandar Internasional (SBI) menjadi tren yang berkembang dari tingkat SD sampai SMA/sederajat. Sementara di tingkat perguruan tinggi, jurusan Bahasa Inggris, baik pendidikan maupun sastra selalu menjadi favorit.
Tentunya hal tersebut menjadi salah satu sebab mengapa generasi muda Indonesia lebih suka dengan kebudayaan model barat. Begitu banyaknya acara-acara yang mengadaptasi gaya barat, mengakibatkan generasi muda kita lebih akrab dengan budaya barat ketimbang budaya negeri sendiri. Budaya asli Nusantara yang seharusnya mendapat porsi yang lebih besar, malah tak kebagian tempat di berbagai stasiun televisi. Rating dan keuntungan dijadikan alasan.
Itu adalah salah satu sebab mengapa generasi muda kurang antusias dengan kebudayaan sendiri. Kurangnya perhatian dari pihak pengelola media, sehingga pandangan kaum muda terhadap kebudayaan asli yang sering dianggap kuno, tak gaul, tetap melekat. Seharusnya pandangan-pandangan seperti itu dihapus, salah satunya dengan menggencarkan acara-acara berbasis kebudayaan di televisi-televisi nasional.
Kemudian sebab yang kedua, menurut pangamatan saya, sebenarnya masih banyak anak-anak muda yang ingin belajar kebudayaan asli, akan tetapi karena suatu hal mereka mengurungkan atau menunda niatnya. Kurangnya media dan guru merupakan sebab yang sangat mencolok. Dalam kasus ini saya mengambil contoh Yogyakarta (dan Surakarta). Yogyakarta masih terbilang beruntung karena mempunyai Kraton yang masih bertahan hingga kini tanpa ada perselisihan. Kraton Yogyakarta sangat berperan dalam menjaga kebudayaan di Yogyakarta, sehingga hasilnya seperti sekarang ini. Yogyakarta ibarat Indonesia mini, dengan akulturasi berbagai kebudayaan yang hidup berdampingan secara harmonis. Peran Kraton sangat besar dalam mewujudkan hal tersebut.
Akan tetapi prestasi tersebut bukan tanpa kritik. Meskipun Kraton Yogyakarta telah dibuka untuk umum sebagai salah satu obyek wisata, Kraton tetaplah Kraton. Kraton tetaplah sebuah tempat yang misterius, dengan beberapa bagian yang masih dijaga keasliannya hingga sekarang. Hanya anggota keluarga Kraton dan para Abdi Dalem yang boleh memasukinya. Salah satunya mungkin adalah perpustakaan Kraton. Menurut seorang teman saya yang Abdi Dalem Kraton Yogyakarta, perpustakaan Kraton tak boleh dimasuki oleh masyarakat umum. Tentu saja karena kekhawatiran kondisi buku-buku yang kemungkinan rusak jika dibawa keluar perpustakaan.
Buku-buku di perpustakaan Kraton kemungkinan besar adalah buku-buku yang telah berusia tua, yang mungkin akan rusak jika oleh perubahan cuaca. Sayang jika karya-karya agung tersebut rusak. Akan tetapi, akan lebih sayang jika buku-buku tersebut rusak, tanpa ada masyarakat (terutama anak-anak muda) yang mempelajarinya terlebih dahulu. Dalam mempelajarinyapun, dibutuhkan guru atau pembimbing untuk pemahaman yang lebih jelas. Disamping karena karya-karya kuno tersebut menggunakan bahasa kuno seperti Jawa kuno, Kawi ataupun Sansekerta. Untuk mengerti apa yang tersirat, terlebih dahulu harus mengerti arti secara harafiahnya. Itu adalah sebab yang lain.
Untuk menghindari kerusakan, sebenarnya ada hal bisa dilakukan, yaitu pemindahan menjadi format file komputer. Dengan cara tersebut, berbagai babad, kidung, suluk, ataupun karya sastra kuno lain akan bisa bertahan lebih lama. Dan jika pihak Kraton meminta masyarakat yang mengerjakannya, niscaya masyarakat akan bersedia. Metode pemindahan format ke file ini telah coba ditempuh oleh salah seorang pemerhati kebudayaan, yang secara khusus terkonsentrasi di bidang sastra, yang diposting dalam blognya, http://alangalangkumitir.wordpress.com/. Dalam blog tersebut banyak sekali disajikan berbagai kitab-kitab kuno, serat, babad, ataupun kidung dan suluk.
Di atas telah disebutkan bahwa sulitnya memahami bahasa sastra kuno, salah satunya adalah masalah bahasa. Tentu saja hal tersebut menjadi kendala, karena pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah hanya dijadikan mulok (muatan lokal), yang mungkin seminggu hanya dipelajari selama satu atau dua jam pelajaran. Bandingkan dengan bahasa tetangga (bahasa asing) yang seminggu bisa mencapai enam atau delapan jam pelajaran. Suatu kondisi yang terbalik, menurut saya. Mungkin pemerintah (dalam hal ini Mendiknas), menganggap bahwa siswa telah mampu berkomunikasi (tujuan mempelajari suatu bahasa adalah bisa berkomunikasi) dengan bahasa daerah di rumah, sehingga di sekolah tak perlu lagi dipelajari dengan mendalam.
Dengan minimnya porsi dalam mempelajari bahasa daerah, pengetahuan lain yang terkaitpun menjadi terbatas. Sebagai contoh, dengan mempelajari bahasa jawa, sekaligus akan belajar tentang sopan santun, dan etika hidup dengan orang lain. Itu semua terangkum dalam satu paket bahasa jawa. Bahwa perbedaan tingkat bahasa jawa, itu bukanlah sebagai perbedaan derajat, akan tetapi merupakan wujud penghormatan kepada orang lain, yang lebih tua contohnya.
Ungkapan ‘suka karena terbiasa’ mungkin ada benarnya. Ketika seseorang lebih sering membaca karya-karya sastra asing, tentu lambat laun akan lebih menyukai karya sastra asing daripada karya sastra asli Indonesia. Banyak kasus, contohnya, fakultas bahasa inggris yang tidak membolehkan mahasiswanya meneliti tentang karya sastra yang tidak menggunakan bahasa inggris. Padahal karya sastra adalah universal, tidak terbatas di suatu wilayah saja (khusus hal ini adalah uneg-uneg saya, hehe).
Ketika dokter-dokter kandungan menyarankan pada ibu-ibu hamil untuk memberi calon bayi stimulan yaitu musik-musik klasik macam Beethoven, Mozart, atau J. S. Bach, menurut saya lebih baik diberi stimulan musik-musik macam gendhing-gendhing jawa, langgam, ataupu macapat (untuk yang dari jawa). Itu lebih baik, menurut saya.
Pada akhirnya, generasi muda tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Keengganan belajar kebudayaan asli bukan karena tidak suka, tapi ada faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya ketidaksukaan tersebut muncul. Gencarnya penetrasi budaya barat melalui film, musik, ataupun gaya hidup model barat, sementara kebudayaan asli Nusantara hanya dibangga-banggakan tanpa ada upaya pelestarian, itu adalah kesalahan besar.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger