Tuesday, June 14, 2011

Fenomena “Ki Ageng” Pada Era Peralihan Hindu ke Islam di Jawa


Seperti yang telah banyak diketahui bahwa Hindu dan Budha masuk terlebih dahulu ke Indonesia. Sementara Islam baru berkembang pesat sekitar abad ke-16, yaitu dengan mundurnya Kerajaan Majapahit, dan munculnya Kerajaan Demak. Kemunduran Kerajaan Majapahit sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa, karena relatif mudah untuk mengingatnya, yaitu dengan candra sengkala: Sirna Ilang Kertaning Bumi, atau tahun 1500 masehi.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V yang konon moksa mewariskan keturunan yang tersebar di Nusantara ini. Sebagian besar menjadi orang-orang terkenal. Menurut Babad Tanah Jawi, keturunan raja terakhir Majapahit ini terdapat 146 orang, yang tersebar di seluruh penjuru tanah Jawa. Satu hal yang menarik, jika tidak menjadi raja, keturunan Majapahit ini menjadi cikal bakal suatu wilayah. Sebagai contoh, Ki Ageng Mangir, yang merupakan cikal bakal Pedukuhan Mangir, yang terletak di pinggir Sungai Progo, Pajangan, Bantul.
Uniknya, fenomena itu muncul pada masa peralihan dari Hindu ke Islam. Pada masa sebelumnya, ketika seseorang mempunyai semacam kesaktian dan dihormati oleh masyarakat, orang tersebut mungkin disebut “Pandhita”, akan tetapi pada masa perkembangan Islam, sebutan itu tak lagi dipakai, namun berganti dengan sebutan “Ki Ageng”. Uniknya lagi, dibelakang nama “Ki Ageng”, selalu menyertai sebuah nama yang di era modern ini merupakan nama sebuah wilayah.
Sebagai contoh, dari yang terkenal, Pangeran Handayaningrat yang beristri Retna Pembayun putri Brawijaya V, berputra Ki Kebo Kenanga yang kemudian disebut sebagai Ki Ageng Pengging, karena tinggal di daerah Pengging. Kemudian ada lagi Ki Ageng Tingkir, yang tinggal di daerah bernama Tingkir. Kemudian yang paling terkenal dan mempunyai unsur politik sangat tinggi, Ki Ageng Mangir, yang tinggal di daerah bernama Mangir. Dan masih banyak Ki Ageng yang lain.
Tentunya hal ini sangat erat berkaitan dengan masyarakat, dimana saat itu Demak sebagai penguasa, namun banyak daerah-daerah yang tidak terjangkau percaturan politik kerajaan (lagi-lagi ambillah contoh Pedukuhan Mangir, yang sejak era Kerajaan Majapahit merupakan tanah perdikan, bebas dari kekuasaan kerajaan manapun), tentunya mempunyai seseorang yang dianggap pemimpin oleh masyarakat. Bisa jadi para “Ki Ageng” tersebut memimpin suatu wilayah, meskipun tidak selengkap sistem kerajaan. Akan tetapi, cukup untuk mengatur suatu komunitas masyarakat yang mendiami suatu wilayah.
Mungkin hal itu tidak banyak diangkat oleh para sejarahwan. Akan tetapi, hal tersebut nampaknya penting dilihat dari aspek sosiologis, karena hal itu berkaitan langsung dengan masyarakat bawah. Hal ini sebenarnya menarik untuk diteliti lebih lanjut, dan inilah yang menarik dari sejarah, dimana peneliti harus membongkar misteri, yang mungkin tak akan bisa meski mengabiskan seumur hidup.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger