Monday, February 20, 2012

Gugon Tuhon: Larangan dan Etika Jawa dalam Legenda, Mitos, dan Tembang Jawa

Gugon tuhon, atau yang disebut juga dengan pamali, merupakan semacam larangan (pepali) yang beredar di kalangan masyarakat Jawa. Umumnya, (istilah) gugon tuhon ini beredar dari orangtua ke anak-anak mereka, atau oleh guru ke muridnya. Gugon tuhon adalah perilaku-perilaku yang kurang pantas dilakukan, dan dipercaya akan mendatangkan kesialan jika dilakukan. Maka, anak-anak diajarkan beberapa hal yang lebih baik tidak dilakukan, meski kadang-kadang sulit diterima akal sehat.

Gugon tuhon atau larangan-larangan ini umumnya disampaikan secara langsung, atau melalui cerita-cerita legenda dan mitos serta melalui tembang-tembang jawa (macapat). Banyak sekali cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat gugon tuhon di dalamnya. Biasanya, gugon tuhon yang terdapat dalam sebuah cerita akan dipatuhi oleh masyarakat suatu daerah tertentu. Meskipun tidak ada larangan tertulis (karena di jawa banyak cerita rakyat yang hanya disampaikan secara lisan dan tidak diketahui pengarangnya), masyarakat mematuhi larangan yang ada di dalam cerita tersebut. Meskipun sepertinya tidak masuk akal, namun hal tersebut adalah kearifan lokal suatu daerah yang patut dilestarikan.
Banyak sekali kisah-kisah yang memuat larangan akan sesuatu di dalamnya. Sebut saja sebagai contoh larangan bagi orang Banyumas, ketika Adipati Banyumas ditaklukkan oleh prajurit Pajang pada hari Sabtu Pahing. Dalam tradisi jawa, hari kematian leluhur merupakan sangaran (dihindari) untuk melakukan berbagai hajat seperti melaksanakan pernikahan sampai bepergian jauh. Sebelum kematiannya, Adipati Banyumas mewariskan wewaler (larangan) bagi orang-orang Banyumas, yaitu: (1) ora kena lungan ing dina Setu Pahing, (2) ora kena mangan daging banyak, (3) ora kena nunggang jaran kulawu jongkla, (4) ora kena manggon omah sunduk sate (Herusatoto, 2012: 112-113).
Berbeda dengan larangan bagi masyarakat Bagelen, Jawa Tengah, yang dilarang oleh Nyai Ageng Bagelen atau Rara Bang Wetan. Larangan itu berbunyi: (1) ora kena nganggo jarit gadhung mlathi, (2) ora kena nandur dhele, (3) ora kena mbeleh sapi, (4) ora kena lungan ing dina Slasa Wage (Ibid, 2012: 114). Pepali atau larangan ini diceritakan dalam Serat Cemporet karangan R. Ng. Ranggawarsita.
Tentunya masih banyak wewaler (larangan) yang beredar di kalangan masyarakat jawa, seperti larangan tidak boleh menikah dengan orang yang rumahnya arahnya berada di sebelah tenggara dan barat laut dari rumah sendiri. Setelah diteliti ternyata hal ini mungkin berkaitan dengan legenda Ki Ageng Mangir. Desa Mangir berada di sebelah barat laut Kraton Yogyakarta, sementara Kraton Yogyakarta berada di sebelah tenggara Mangir. Seperti yang telah diketahui bahwa konon Ki Ageng Mangir menikah dengan Pembayun, putri Panembahan Senopati. Diceritakan akhirnya Ki Ageng Mangir mati di tangan mertuanya sendiri.
Atau wewaler yang beredar di daerah Kudus, Jawa Tengah yang tidak boleh mengawinkan anak-anak mereka dengan orang yang orang yang tinggal di daerah barat sungai, karena di masa lalu leluhur mereka bermusuhan. Sementara di daerah Kendal, Jawa Tengah, beredar larangan membangun rumah tembok (Ibid, 2012: 118).
Sementara wewaler yang terdapat dalam tembang jawa lebih pada etika, karena berhubungan dengan perilaku manusia. Hal ini berbeda dengan wewaler yang ada dalam legenda-legenda atau mitos. Salah satu tembang jawa yang mengadung wewaler di dalamnya adalah Pepali Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela adalah seorang tokoh yang muncul pada era awal Islam berkembang di Jawa, dimana di saat itu banyak sekali muncul tokoh-tokoh yang menggunakan sebutan Ki Ageng. Ki Ageng Sela juga dikisahkan mampu menangkap halilintar dengan tangannya.
Dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela, tertulis:
Pepali-ku ajinen mbrekati/ Tur slamet sarta kuwarasan/ Pepali iku mangkene:/ Aja gawe angkuh/ Aja ladak lan aja jail/ Aja ati serakah/ Lan aja celimut/ Lan aja mburu aleman/ Aja ladak, wong ladak pan gelis mati/ Lan aja ati ngiwa//
Bait tersebut tertulis pada pupuh pertama Serat Pepali Ki Ageng Sela yang berupa tembang Dhandhanggula yang populer bagi masyarakat Jawa. Jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, pepali tersebut akan menjadi seperti ini: laranganku ini hargailah sebab memberkahi/ lagipula menyelamatkan serta menyehatkan jiwa/ larangan itu seperti ini:/ jangan bersikap angkuh/ jangan bengis dan jahil/ jangan tamak, serakah, dan loba/ jangan panjang tangan/ jangan memburu pujian/ jangan pemarah karena pemarah akan cepat mati/ jangan berhati jelek//
Penggunaan kata “aja” yang berarti “jangan” mempertegas bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dilakukan. Uniknya, Pepali Ki Ageng Sela ini berlaku tidak hanya untuk orang jawa, karena larangan-larangan tersebut mencakup beberapa hal, yaitu etika sampai ajaran agama Islam. Selain Pepali Ki Ageng Sela, terdapat juga Pepali Panembahan Senopati (Ibid, 2012: 106) yang berbunyi, “sak turun-turunku, manawa magut jurit aja pisan-pisan nunggang jaran batikan”.

3 comments:

  1. kalau sekarang jenis ajaran ini kerap diabaikan anak muda, di jawa juga sudah mulai mudar larangan2 pamali atau yg kerap disebut juga "ra elok" dalam pawarta basa jawa

    ReplyDelete
  2. biasakakn referensi atau daftar pustaka dong min

    ReplyDelete
  3. sudah mas, mohon maaf judulnya kelupaan ditulis hehe :)

    ReplyDelete

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger