Karena begitu kuatnya pengaruh modernitas yang memang melalui berbagai cara, pada akhirnya meskipun tidak secepat di perkotaan, lambat laun juga mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat di pedesaan-pedesaan. Hal ini bisa dilihat dari semakin renggangnya kerukunan antar masyarakat, bahkan sangat mudah mencurigai tetangga sendiri.
Semakin sedikit masyarakat, meskipun masih ada yang berusaha mempertahankan, yang datang berkumpul setiap malam selama beberapa malam ke rumah tetangga yang baru saja melahirkan bayi, misalnya. Jagongan, atau begitu biasa disebut untuk menggambarkan kegiatan berkumpul setiap malam. Kalaupun ada, maknanya sudah sangat bergeser cukup jauh dengan makna asli kegiatan ini, yang sebenarnya merupakan sebuah kegiatan "jaga" atau "menjaga" si bayi dari perilaku atau perkataan yang tidak baik.
Jagongan, konon berasal dari kata "jaga" atau menjaga si bayi dari hal-hal yang kurang baik, karena si bayi sudah tidak lagi berada di dalam perut ibu, melainkan sudah berada di dunia yang jauh berbeda dengan perut ibu. Maka, pada zaman dahulu, kegiatan jagongan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang tua yang sudah berpengalaman dalam kehidupan, memahami berbagai seluk beluk kehidupan, yang kemudian mereka tularkan kepada si jabang bayi tersebut.
Mereka, para orang tua tersebut menjaga si bayi melalui tradisi jagongan tersebut dengan cara membacakan petuah-petuah yang baik, dan petuah-petuah itu mereka nyanyikan melalui tembang macapat. Setiap orang tua akan membacakan satu macapat, dan kemudian dijabarkan artinya, begitu seterusnya sampai giliran terakhir. Dengan begitu, si bayi akan mendengar kata-kata yang baik, pitutur yang baik.
Sekarang, tradisi ini masih ada, tetapi sudah tidak lagi bermakna "menjaga si bayi dengan perkataan yang baik" karena seringkali tradisi jagongan bayi di masa modern ini diisi dengan berbagai jenis permainan kartu, atau obrolan-obrolan yang sebenarnya tidak baik bagi perkembangan bayi kelak.
Hal ini kemudian menimbulkan tudingan bahwa tradisi jagongan tidak perlu dilaksanakan karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Padahal, yang tidak baik bukan tradisinya tetapi orang-orangnya alias pelakunya karena sudah mengubah makna asli dari tradisi jagongan ini.
Dengan praktek-praktek jagongan modern yang seperti itu, tidak heran jika hampir semua anak-anak sulit dikendalikan, mempunyai perilaku yang sedikit berbeda dengan anak-anak satu atau dua dekade lalu, misalnya. Maka, jika ini kemudian dikatakan karena perkembangan jaman, memang benar, karena jaman sekarang jagongan diisi dengan hal-hal negatif yang seharusnya tidak dilakukan.
Maka hasilnya adalah, sering terdengar perilaku negatif yang dilakukan anak-anak usia anak hingga remaja. Atau generasi muda yang tidak mau mempelajari kebudayaannya sendiri karena takut dicap kuno, jadul, atau udik. Jika hal ini terus berlanjut, maka jangan kaget jika kebudayaan Indonesia yang merupakan kumpulan dari berbagai kebudayaan yang mulia ini punah.
==========================
Salah satu contoh Macapat model Dhandhanggula yang biasa dibacakan di tradisi jagongan, karya pujangga hebat KGPAA Mangkunegara IV.
Nanging yen sira anggeguru kaki --------------------------> Maka jika kamu mencari seorang guru
Amiliya manungsa kang nyata -----------------------------> Pilihlah manusia yang sebenar-benarnya
Ingkang becik martabate ----------------------------------> Yang berbudi baik
Sarta kang wruh ing kukum -------------------------------> Yang mentaati peraturan
Kang ngibadah lan kang wirangi ---------------------------> Yang baik pula agamanya
Sukur oleh wong tapa -------------------------------------> Lebih baik jika dia seorang yang suka prihatin
Ingkang wus amungkul ------------------------------------> Yang mempunyai kelebihan
Tan mikir pawewehing liyan -------------------------------> Tidak mengharapkan balas budi orang lain
Iku pantes sira guronono kaki -----------------------------> Maka orang itu pantas kamu jadikan guru
Sartane kawruhana ----------------------------------------> Dan ambillah ilmu yang baik darinya
Mereka, para orang tua tersebut menjaga si bayi melalui tradisi jagongan tersebut dengan cara membacakan petuah-petuah yang baik, dan petuah-petuah itu mereka nyanyikan melalui tembang macapat. Setiap orang tua akan membacakan satu macapat, dan kemudian dijabarkan artinya, begitu seterusnya sampai giliran terakhir. Dengan begitu, si bayi akan mendengar kata-kata yang baik, pitutur yang baik.
Sekarang, tradisi ini masih ada, tetapi sudah tidak lagi bermakna "menjaga si bayi dengan perkataan yang baik" karena seringkali tradisi jagongan bayi di masa modern ini diisi dengan berbagai jenis permainan kartu, atau obrolan-obrolan yang sebenarnya tidak baik bagi perkembangan bayi kelak.
Hal ini kemudian menimbulkan tudingan bahwa tradisi jagongan tidak perlu dilaksanakan karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Padahal, yang tidak baik bukan tradisinya tetapi orang-orangnya alias pelakunya karena sudah mengubah makna asli dari tradisi jagongan ini.
Dengan praktek-praktek jagongan modern yang seperti itu, tidak heran jika hampir semua anak-anak sulit dikendalikan, mempunyai perilaku yang sedikit berbeda dengan anak-anak satu atau dua dekade lalu, misalnya. Maka, jika ini kemudian dikatakan karena perkembangan jaman, memang benar, karena jaman sekarang jagongan diisi dengan hal-hal negatif yang seharusnya tidak dilakukan.
Maka hasilnya adalah, sering terdengar perilaku negatif yang dilakukan anak-anak usia anak hingga remaja. Atau generasi muda yang tidak mau mempelajari kebudayaannya sendiri karena takut dicap kuno, jadul, atau udik. Jika hal ini terus berlanjut, maka jangan kaget jika kebudayaan Indonesia yang merupakan kumpulan dari berbagai kebudayaan yang mulia ini punah.
==========================
Salah satu contoh Macapat model Dhandhanggula yang biasa dibacakan di tradisi jagongan, karya pujangga hebat KGPAA Mangkunegara IV.
Nanging yen sira anggeguru kaki --------------------------> Maka jika kamu mencari seorang guru
Amiliya manungsa kang nyata -----------------------------> Pilihlah manusia yang sebenar-benarnya
Ingkang becik martabate ----------------------------------> Yang berbudi baik
Sarta kang wruh ing kukum -------------------------------> Yang mentaati peraturan
Kang ngibadah lan kang wirangi ---------------------------> Yang baik pula agamanya
Sukur oleh wong tapa -------------------------------------> Lebih baik jika dia seorang yang suka prihatin
Ingkang wus amungkul ------------------------------------> Yang mempunyai kelebihan
Tan mikir pawewehing liyan -------------------------------> Tidak mengharapkan balas budi orang lain
Iku pantes sira guronono kaki -----------------------------> Maka orang itu pantas kamu jadikan guru
Sartane kawruhana ----------------------------------------> Dan ambillah ilmu yang baik darinya
0 comments:
Post a Comment