Thursday, August 25, 2011

Lereng Gunung

Dengan udara dingin yang senantiasa menyapa ketika pagi dan malam menjelang. Sementara ayam-ayam telah bernyanyi jauh sebelum seseorang terbangun dari tempat berdiamnya yang hangat berselimutkan kain tebal berwarna-warni. Pegunungan, atau lebih tepatnya gunung, merupakan sebuah tempat elok nan misterius. Bagaikan Kraton, yang meskipun telah mengalami kemajuan zaman sedemikian pesatnya, masih menyisakan bagian-bagian yang tertutup, kuno, dan berselimutkan kabut.
Meskipun sekedar nunut ngeyup di tempat itu, banyak hal yang bisa terasa. Hal-hal yang masuk akal, ataupun hal-hal yang tak masuk akal, yang kata orang-orang terpelajar, postmodernisme. Namun itu wajar, karena gunung merupakan tempat misterius yang mungkin tak terpengaruh oleh modernitas, lika-liku kemajuan zaman, ataupun tipu daya politis yang banyak tersebar di tempat-tempat lain. Meskipun masyarakatnya terpengaruh, gunung tak akan goyah. Ia akan tetap bertahan, tetap menjaga apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya untuk dijaga keselamatannya, kesejahterannya, dan kemakmurannya.
Sungguh beruntung bisa berada di tempat itu barang sejenak. Bahwa udara dingin, serta hal-hal lain, membuat manusia akan lebih mengerti tentang arti kesunyian. Kesunyian dari hiruk pikuk dunia, suara-suara benda-benda besi memekakkan telinga. Yang ada hanya suara-suara burung-burung, ayam-ayam, serta hewan-hewan lain, dan suara-suara lain yang tak diketahui asalnya. Siapa yang bernyanyi, siapa yang berteriak, siapa yang menyenandungkan tembang-tembang indah yang bagi sebagian orang menyeramkan. Ah, rupanya media telah berhasil melakukan pembohongan publik.
Gunung.
Anak-anak menggambarkan gunung seperti ini: dua buah benda segitiga dengan ujung tumpul saling berdekatan. Di tengah-tengah kedua gunung itu terdapat sebuah matahari yang terlihat separuh. Sementara sebuah jalan panjang dari bawah menuju ke tengah-tengah gunung, atau ke arah matahari yang entah terbenam atau terbit itu. Tak lupa beberapa awan dan pohon menghiasi kanvas, bukan, buku gambar kecil bersampul kuning itu. Sentuhan akhir, gunung diberi warna biru, simbol kesejukan. Matahari berwarna kuning, dan warna-warna lain yang menurut mereka cocok. Itulah gunung menurut anak-anak, makhluk Tuhan yang kompleks.
Gunung menurut kaum minoritas: merupakan tempat tenang, gelap, dan merupakan pusat kekuatan spiritual. Gunung menjadi tempat yang baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tempat yang baik untuk melatih kekuatan spiritual. Tempat yang baik untuk melakukan laku atau tapa. Dengan menjauhi tempat keramaian, ketenangan dan kesunyian akan lebih mudah ditemukan.
Itulah gunung.
Perasaan takut akan terasa ketika berjalan menerobos kabut tebal, sementara titik-titik air mengenai wajah. Takut akan kekuasaan kekuatan tertinggi. Dengan membayangkan hal itu, bagaimana mungkin manusia bisa bersikap sombong dan angkuh? Sungguh manusia akan menjadi kerdil ketika berada di tengah-tengah kabut tebal di puncak gunung. Akan tetapi ketika manusia sudah tak merasakan suatu kekuatan di balik kabut, di balik titik-titik air, di balik gunung, atau di balik jagat raya ini, sungguh mengerikan.
Hal-hal semacam itu memang hanya bisa dirasakan. “Rasa”, sulit dijelaskan. Entah itu Rasa Sejati, Sejatining Rasa, ataupun Rasa Tunggal Jati. Semuanya membutuhkan latihan untuk dapat merasakan sesuatu yang tersebar di dunia ini, agar manusia senantiasa tanggap ing sasmita. Dengan begitu, manusia akan lebih siap menghadapi segala hal yang mungkin akan terjadi.
Gusti Allah, telah menciptakan manusia sebagai penjaga di dunia ini. Bukan pemimpin seperti yang diperebutkan oleh manusia-manusia tamak akan kekuasaan dunia yang sementara. Banyaknya organisasi-organisasi keagamaan tidak membuat kondisi semakin stabil, malah konflik banyak terjadi. Saling tuding, meskipun mereka sebenarnya berakar pada satu sumber yang sama, Gusti Allah Kang Maha Agung.
Manusia, orang, insan, manungsa, jalma, people, uwong, dan lain-lain.
Hidup di tengah-tengah gunung, merupakan kehidupan yang tenang. Tak terpengaruh perselisihan-perselisihan, tak ada tudingan-tudingan, atau aturan-aturan manusia yang kerap menimbulkan masalah. Yang ada hanya aturan Tuhan yang tersampaikan lewat alam, pohon-pohon, hewan-hewan, mata air, sungai yang mengalir, atau melalui bisikan angin dan udara dingin yang menusuk hati. Itulah kehidupan yang tenang.
Merapi tak pernah ingkar janji.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger