Situasi mental sosial-budaya bangsa yang cukup memprihatinkan sekarang ini harus segera dicarikan jalan keluarnya dan harus ada langkah raksasa agar ada keperdulian dari semua elemen bangsa untuk memelihara dan menjaga budaya nusantara tidak sekedar parsial namun dalam scope nasional secara komprehensif. Perlu pula dilakukan semacam revitalisasi budaya bangsa dengan visi menjadi bangsa Indonesia yang berkarakter (mempunyai jati diri), bermartabat dan terhormat.
Indonesia kini adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan jati dirinya. Bangsa yang tidak lagi mengetahui apa dan bagaimana nilai-nilai interaksi manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya terbangun sejak ribuan tahun silam. Padahal dari nilai-nilai itu karakter jiwa suatu bangsa terlihat. Setiap celah kesadaran dan aktivitas hidup individu saat ini tidak lagi mencerminkan jati dirinya.
Bangsa kita sudah tidak berbudaya, bobrok moralitas dan etikanya. Budaya kita stagnan bahkan surut mundur ke wilayah masa lalu dimana kita hanya bisa menjadi pasif menerima budaya dari luar tanpa mampu untuk menggeliat, mewarnai dan kreatif menjalin sinergitas dengan budyaa yang dari luar. Masalah ini mutlak segera dibahas dan dipecahkan bersama-sama. Kita perlu menyadari bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Namun harus digarisbawahi kalau bidang-bidang tersebut sangat terkait dengan krisis yang berlaku di lapangan kebudayaan.
Kita mengakui budaya bangsa warisan leluhur kita sangat adiluhung. Namun kenapa perhatian semua pihak terhadap budaya bangsa semakin lama semakin rendah? Bangsa ini seakan menjadi bangsa yang tanpa budaya, dan perlahan dan pasti suatu saat nanti bangsa ini pasti lupa akan budayanya sendiri. Situasi ini menunjukan betapa krisis budaya telah melanda negeri ini. Rendahnya perhatian pemerintah untuk menguri-uri budaya bangsanya, menunjukan minimnya pula kepedulian atas masa depan budaya. Yang semestinya budaya senantiasa dilestarikan dan diberdayakan. Muara dari kondisi di atas adalah bangkrutnya tatanan moralitas bangsa. Kebangkrutan moralitas bangsa karena masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa besar nusantara yang sesungguhnya memiliki “software” canggih dan lebih dari sekedar “modern”. Itulah “neraka” kehidupan yang sungguh nyata dihadapi oleh generasi penerus bangsa.
Kebangkrutan moralitas bangsa dapat kita lihat dalam berbagai elemen kehidupan bangsa besar ini. Rusak dan hilangnya jutaan hektar lahan hutan di berbagai belahan negeri ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, hukum yang bobrok dan pilih kasih. Pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, asusial, permesuman, penipuan dan sekian banyaknya tindak kejahatan dan kriminal dilakukan oleh masyarakat maupun para pejabat. Bahkan oleh para penjaga moral bangsa itu sendiri. Duduk persoalannya, orang kurang memahami jika budaya bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kehidupan manusia di segala bidang dengan lingkungan alamnya di mana mereka hidup. Sebagai contoh terjadinya kerusakan alam yang kronis menunjukkan dampak tercerabutnya (disembeded) manusia dengan harmoni lingkungan alamnya.
Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 32 ayat (1) dinyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasa masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai–nilai budayanya”. Sudah sangat jelas konstitusi menugaskan kepada penyelenggara negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Ini berarti negara berkewajiban memberi ruang, waktu, sarana, dan institusi untuk memajukan budaya nasional dari mana pun budaya itu berasal.
Amanah konstitusi itu, tidak direspon secara penuh oleh pemerintah. Bangsa yang sudah merdeka 66 tahun ini masalah budaya kepengurusannya “dititipkan” kepada institusi yang lain. Pada masa yang lampau pengembangan budaya dititipkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kini Budaya berada dalam satu atap dengan Pariwisata, yakni Departemen Pariwisata dan Budaya. Dari titik ini saja telah ada kejelasan, bagaimana penyelenggara negara menyikapi budaya nasional itu. Budaya nasional hanya dijadikan pelengkap penderita saja.
Kita ingat beberapa saat yang lalu kejadian yang menyita perhatian yaitu klaim oleh negara Malaysia terhadap produk budaya bangsa Indonesia yang diklaim sebagai budaya negara Jiran tersebut, antara lain lagu Rasa Sayange, Batik, Reog Ponorogo, Tari Bali, dan masih banyak lainnya. Apakah kejadian seperti ini akan dibiarkan terus berulang?
Seharusnya peristiwa tragis tersebut dapat menjadi martir kesadaran dan tanggungjawab yang ada di atas setiap pundak para generasi bangsa yang masih mengakui kewarganegaraan Indonesia. Negara atau pemerintah Indonesia semestinya berkomitmen untuk mengembangkan kebudayaan nasional sekaligus melindungi aset-aset budaya bangsa, agar budaya Indonesia yang dikenal sebagai budaya adi luhung, tidak tenggelam dalam arus materialistis dan semangat hedonisme yang kini sedang melanda dunia secara global. Sudah saatnya negara mempunyai strategi dan politik kebudayaan yang berorientasi pada penguatan dan pengukuhan budaya nasional sebagai budaya bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang merasa besar, kita harus meyakini bahwa para leluhur telah mewariskan pusaka kepada bangsa ini dengan keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Warisan adi luhung itu tidak cukup bila hanya berhenti pada tontonan dan hanya dianggap sebagai warisan yang teronggok dalam musium, dan buku buku sejarah saja. Bangsa ini mestinya mempunyai kemampuan memberikan nilai nilai budaya sebagai aset bangsa yang mesti terjaga kelestarian agar harkat martabat sebagai bangsa yang berbudaya luhur tetap dapat dipertahankan sepanjang masa.
Dalam situasi global, interaksi budaya lintas negara dengan mudah terjadi. Budaya bangsa Indonesia dengan mudah dinikmati, dipelajari, dipertunjukan, dan ditemukan di negara lain. Dengan demikian, maka proses lintas budaya dan silang budaya yang terjadi harus dijaga agar tidak melarutkan nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Bangsa ini harus mengakui, selama ini pendidikan formal hanya memberi ruang yang sangat sempit terhadap pengenalan budaya, baik budaya lokal maupun nasional. Budaya sebagai materi pendidikan baru taraf kognitif, peserta didik diajari nama-nama budaya nasional, lokal, bentuk tarian, nyanyian daerah, berbagai adat di berbagai daerah, tanpa memahami makna budaya itu secara utuh. Sudah saatnya, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya diberi ruang dan waktu serta sarana untuk berpartisipasi dalam pelestarian, dan pengembangan budaya di daerahnya. Sehingga nilai-nilai budaya tidak hanya dipahami sebagai tontonan dalam berbagai festival budaya, acara seremonial, maupun tontonan dalam media elektronik.
Masyarakat, sesungguhnya adalah pemilik budaya itu. Masyarakatlah yang lebih memahami bagaimana mempertahankan dan melestarikan budayanya. Sehingga budaya akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pemeliharaan budaya oleh masyarakat, maka klaim-klaim oleh negara lain dengan mudah akan terpatahkan. Filter terhadap budaya asing pun juga dengan aman bisa dilakukan. Pada gilirannya krisis moral pun akan terhindarkan. Sudah saatnya, pemerintah pusat dan daerah secara terbuka memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan budaya nasional.
Dengan dasar di atas, kami bagian dari elemen bangsa ini bersumpah:
SUMPAH BUDAYA
- MENDESAK KEPADA PEMERINTAH UNTUK SERIUS MEMPERHATIKAN PEMBANGUNAN BUDAYA DAN MEMPENETRASIKAN KE DUNIA PENDIDIKAN, EKONOMI, SOSIAL DAN POLITIK.
- MENGELUARKAN KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG LESTARINYA NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL DAN NASIONAL YANG POSITIF DAN KONSTRUKTIF SEHINGGA MEMPERKUAT IDENTITAS DAN JATI DIRI BANGSA.
- MENGGALANG SEMUA POTENSI BUDAYA YANG ADA MELALUI TATA KELOLA KEBUDAYAAN YANG BAIK DAN BENAR.
DITANDATANGANI DI YOGYAKARTA, 2 SEPTEMBER 2011
- SABDA LANGIT.
- WONG ALUS.
- KI CAMAT.
- MAS KUMITIR.
- SABDO SEJATI.
- TOMY ARJUNANTO.
- KANEBO SW.
- KANKTONO.
- ANTON.S.
- SUPARJO.
- WISNU ARDEA.
Bagi saudara sebangsa dan setanah air, silahkan bergabung dengan gerakan ini dan menyebarkan sumpah budaya ini. Demikian pernyataan kami. Terima kasih. Salam Berbudaya. Asah asih asuh.
0 comments:
Post a Comment