Sunday, November 13, 2011

Sastra Jawa, Pintu Gerbang Memahami Budaya Jawa

Bahasa tulis memang mempunyai efek yang luar biasa pada khalayak umum. Bisa dilihat pada artikel-artikel yang termuat di suratkabar-suratkabar harian, mingguan, atau bulanan. Apalagi jika artikel tersebut ditulis oleh seseorang yang mempunyai pengaruh besar. Contoh nyata adalah ketika masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, para pejuang tidak hanya berperang dengan senjata api atau bom, tetapi juga dengan pena dan tinta.
Bahasa tulis memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembaca. Bahasa tulis mempunyai gayanya masing-masing. Bahasa jurnalisme akan berbeda dengan bahasa karya tulis, begitu pula bahasa pada karya tulis ilmiah akan berbeda pada bahasa sastra.
Sebagai salah satu ragam bahasa tulis, sastra memang mendapatkan tempat yang cukup istimewa di kalangan pembaca. Dengan bahasa yang indah, sastra mampu menarik minat seseorang untuk lebih mendalami ataupun sekedar menjadi penikmat. Hampir setiap bahasa di dunia ini mempunyai kesusasteraan sendiri-sendiri. Sastra Inggris dan Sastra Amerika banyak dipelajari oleh mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa inggris. Sastra Inggris terkenal dengan Shakespeare-nya, sementara Sastra Amerika antara lain terkenal berkat Tom Sawyer, The Adventures of Huckleberry Finn, dll. Sementara dari daratan Eropa, nama Anton Chekov dan Leo Tolstoy cukup berpengaruh. Dari daratan Asia, nama Khalil Jibran (Kahlil Gibran) sangat dikenal di seluruh dunia.
Indonesia sendiri mempunyai banyak sastrawan hebat. Sebut saja Chairil Anwar, atau nama-nama lain seperti Taufik Ismail, dll. Sastrawan nusantara masa lalu lebih hebat lagi, sebut saja Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Sultan Agung Hanyokrokusumo, R. Ng. Ranggawarsita, KGPAA Mangkunegara IV, dll.
Khusus sastra jawa, Linus Suryadi AG, penulis novel fenomenal “Pengakuan Pariyem” menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Dari Pujangga ke Penulis Jawa”, bahwa periode kesusasteraan Jawa terbagi atas tiga periode, yaitu periode Jawa Kuno, Jawa Madya, dan Jawa Modern. Masing-masing periode tersebut saling mempengaruhi, terutama dari segi bahasa. Bahasa Jawa kuno (Sansekerta?) masih dominan digunakan dalam bahasa sastra pada periode itu. Sementara periode Jawa Madya, masih ditemukan sedikit bahasa Kawi (Kawi=sastra, perawi=penulis sastra, kakawin=karya sastra, kitab). Periode Jawa Modern, berkembang dengan Bahasa Jawa ragam Yogya-Solo sebagai pusatnya. Sementara sisa-sisa Bahasa Jawa Kuno dapat ditemukan di daerah Banyumas (serta daerah-daerah di sekitarnya yang menggunakan bahasa jawa ngapak).
Sastra Jawa mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan sastra-sastra dari bahasa lain. Salah satu ciri sastra jawa adalah strukturnya yang berupa lirik yang bisa dinyanyikan, meskipun menceritakan sebuah kisah yang panjang, misalnya kisah tentang seseorang (Babad Mangir, Suluk Gita Prabawa, dll). Tidak berupa narasi panjang seperti bentuk novel pada umumnya, tetapi lebih berupa lirik, yang saling berkaitan antara bait satu dengan yang lainnya. Beowulf, sebuah karya sastra klasik Eropa juga menggunakan pola seperti ini, hanya saja kemungkinan Beowulf tidak bisa dinyanyikan.
Salah satu kelebihan sastra jawa adalah, mempunyai tingkat spiritualitas yang tinggi. Karya-karya sastra jawa banyak mengisahkan tentang sisi spiritual manusia, hubungan manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan. Bahkan tidak sedikit karya sastra jawa disusun dengan laku prihatin penulisnya. Salah satu karya sastra jawa yang konon merupakan karya sastra dengan unsur spiritualitas tinggi yang tidak sembarang orang bisa memahami adalah Serat Sastra Gendhing karangan Sultan Agung. Di dalamnya terdapat kalimat yang konon merupakan tingkat spiritual tinggi yaitu, “sastra jendra hayuningrat pangruwataning diyu.”
Selain itu, ada pula karya sastra jawa yang bersifat menasehati, bagaimana seharusnya manusia itu hidup di dunia ini, menjalani kehidupan dengan sesama manusia dengan rukun, selaras dengan alam, serta harmonis dengan Tuhan (Serat Wulangreh). Ada juga yang membimbing manusia agar mampu bersikap ksatria, terutama bagi para pemimpin (Serat Niti Sastra, Serat Niti Sruti). Ada yang menceritakan tentang masa depan (Jangka Jayabaya, serta beberapa karya Ranggawarsita). Serta yang cukup fenomenal dan kontorversial, bisa ditemui pada Serat Gatholoco (anonim), Serat Darmogandhul (anonim), dan Serat Tapel Adam (Ranggawarsita). Sastra Jawa juga memiliki ragam jenis yang bermacam-macam, seperti Babad, Suluk, Kidung, Serat, hingga yang lebih modern seperti Geguritan ataupun Cerkak (Cerita Cekak).
Terlepas dari pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada orang-orang, sastra jawa merupakan pintu gerbang untuk memahami apa itu “Jawa”. Banyak sekali pesan-pesan yang bisa diambil manfaatnya, tidak hanya orang jawa, akan tetapi siapapun yang ingin mempelajarinya. Menjadi orang jawa bukanlah semata dilahirkan di daerah Jawa, akan tetapi mengenai bagaimana berperilaku yang baik dan sopan. Orang jawa sering menyebut orang yang berperilaku kurang sopan dengan sebutan ‘ora jawa’. Artinya bahwa jawa adalah perilaku yang baik, bukan sekedar apa yang tertulis di KTP.
Kebudayaan Jawa meskipun diakui merupakan kebudayaan yang adiluhung, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini budaya jawa mulai mengalami kemunduran. Orang-orang jawa sendiri yang seharusnya melestarikan, menjaga, ternyata sudah puas hanya dengan status adiluhung tersebut tanpa ada usaha yang cukup berarti. Meskipun ada, bahasa merupakan kendala yang cukup menyulitkan. Bahasa sastra jawa sangat berbeda dengan bahasa jawa sehari-hari. Bahasa sastra jawa juga bukan bahasa jawa khas Kraton, tapi bahasa sastra jawa (Kawi?), dimana untuk menemukan orang yang paham bahasa sastra jawa sangatlah sedikit.
Akan tetapi, sastra jawa merupakan salah satu cara untuk memahami budaya jawa, karena sastra jawa menceritakan hampir semua aspek kehidupan orang jawa, meliputi seni, tradisi, dan religi. Intinya, sastra jawa selain bisa dinikmati sebagai hiburan fisik, juga dapat dinikmati sebagai hiburan spiritual. Sastra jawa tidak hanya tentang menghibur, tetapi juga mengemong, membimbing, dan menuntun manusia agar dapat beperilaku jawa, yaitu perilaku yang baik serta sopan.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger