Monday, June 18, 2012

Kamis, Suatu Pagi

Kamis (14/06/2012), pagi. Saat itu masih terasa dingin meski matahari sudah terasa gatal di kulit. Sehabis mandi, kutemani Simbok (aku memanggil nenek dengan sebutan Simbok) yang sedang duduk-duduk di kursi, membiarkan sinar matahari menerpa kulit keriputnya. Kemudian terjadilah sebuah perbincangan antara cucu dan nenek yang mungkin bisa diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Percakapan ini terjadi sekitar pukul sepuluh pagi, antara Mahisa Medari (MM) dan Simbok (S). Perbicangan tersebut menggunakan bahasa Jawa, kemudian dialihbahasakan ke bahasa Indonesia seperti di bawah ini.
(MM)         : Mbok, kalau misalnya saya tanya mbah-mbah buyut dulu masih  ingat tidak?
(S)                   : Heh?
(MM)              : Mbah Buyut namanya siapa to, Mbok?
(S)                   : Mbah Buyut mana?
(MM)              : Jaten
(S)                   : Mbah Buyut Jaten ya Posetiko
(MM)              : O, Mbah Posetiko. Terus rumahnya mana?
(S)                   : Ya di Jaten itu.
(MM)              : Saudaranya siapa saja?
(S)                   : Ya, Jontani, terus Amat Karyo, sama Posetiko itu.
(MM)              : O. Kalau Mbah Kakung Pawiro itu suka semedi, ya?
(S)          : Iya. Puasanya kuat. Pernah 40 hari 40 malam tak keluar dari senthong*. Pernah suatu ketika saya ngomong sama Mbah-mu,”Kok puasa terus.” Terus Mbahmu jawab gini,”Ya ndak papa, wong puasa juga untuk anak-anak. Kelak semoga anak-anak bisa ngedhep mejo karo nyekel potelot.” Soalnya kalau dulu bolpoin masih jarang, jadi pakainya pensil.
(MM)        : Mmm. Terus?
(S)        : Nganu…dulu pernah semedi di Ngancar*, setelah beberapa hari Mbahmu disuruh pulang oleh makhluk yang tak terlihat, hanya suaranya yang terdengar, bilang seperti ini,”sudah, berhenti dulu puasanya.” Lalu mbahmu pulang, dan cerita tentang peristiwa itu. Terus saya bilang sama mbahmu,”kalau gitu ya udah dulu.”
(MM)        : Terus keris-keris sama tombak itu dari mana?
(S)             : Rangerti. Kalau yang merah itu, itu milik saya. Dulu ditukar dengan suweng*. Mbahmu dulu bilang gini,”gak papa ya suwengmu tak tukar keris.” Ada yang dipakai agar sawah subur. Kalau yang lain, tombak-tombak itu saya gak tahu. Gagangnya masih ada itu di senthong.
(MM)          : Yang orang malem-malem datang minta kembang itu muncul lagi nggak?
(S)               : Enggak
(MM)          : Kalau Mbah Kakung masih suka datang kesini?
(S)               : Masih. Kalau gak salah sudah 7 kali sejak pertama pindah neng omahmu
(MM)         : Terakhir kapan?
(S)             : Kapan ya. Saat itu saya agak sakit di punggung. Terus antara sadar atau tidak mbahmu datang, kemudian bilang,”mengkurep, tak pijeti*.” Saya nurut saja. Paginya agak mendingan.
(MM)              : Mmm
(S)             : Yang namanya jodoh itu, Le, tak kandhani, dua menjadi satu. Yang namanya garwo* itu sigaraning jiwo* atau sigaraning nyowo. Kalau istrinya pegel, ya suaminya mijiti. Kalau suaminya pegel, ya istrinya yang mijiti. Itulah yang disebut Sigaraning Jiwo atau Sigaraning Nyowo. Setia sampai mati.
(MM)              : Kalau Ki Ageng Mangir tahu nggak, Mbok?
(S)                   : Wah, gak tahu. Kalau Mbah Kakung ya tahu. Yang saya tahu, dulu di pinggir Kali Progo itu ada rawa-rawa. Terus ada seseorang yang punya gawe, tapi sama Ki Ageng Mangir diminta yang rewang* agar tidak memangku pisau. Tapi ada seorang wanita yang memangku pisau. Kemudian wanita itu hamil. Tapi anaknya berwujud ular naga yang besar. Kemudian ular itu pergi menuju Gunung Merapi. Bekas lintasan ular naga itu kini dikenal sebagai Kali Bedhog.
(MM)              : *manggut-manggut
(S)                : Pegel. Dulu sewaktu muda suka nggendhong kelapa. Jadinya ya seperti ini, gampang pegel-pegel.
*sambil berjalan menuju kamar untuk beristirahat.
Itulah dialog pagi pada hari Respati Cemeng, Mangsa Kasa, tahun 1934 Saka di sebuah rumah yang terletak di wilayah perbatasan antara Nglengkong dan Buntar. Mengapa dengan PD-nya saya memposting obrolan yang mungkin tidak penting, karena setidaknya terdapat dua pelajaran yang dapat kita petik dari kata-kata nenek renta itu. Dan dua pelajaran itu telah dilupakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.


Catatan:
Senthong                   : sebuah ruangan khusus yang ada di setiap rumah jaman dahulu. Tidak boleh dimasuki sembarang orang.
Ngancar                     : sebuah pertemuan antara dua sungai di daerah Mangir Kidul, Sungai Progo dan Sungai Mbedhog.
Suweng                      : sejenis anting-anting
Rewang                      : orang yang datang ke tempat orang yang punya hajat
Mengkurep                : tengkurap
Garwo                         : jodoh, pasangan
Sigaraning jiwo         : belahan jiwa

3 comments:

  1. romantis..percakapan yang romantis antara Mahisa Medari dan Simboknya..
    tapi kalau Simbah saya tak tanyain hal2 semacam itu, jawabannya "Criwis wae, mbok gek adus." :'(

    ReplyDelete
  2. @asti: mungkin anda tanyanya sambil bengak bengok..hehe..

    @Bung Tama: sama-sama Bung Tama, makasih telah komen..

    ReplyDelete

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger