Bahwa akhir-akhir ini sering dijumpai foto-foto selfie bersama
hewan buruan di berbagai media sosial populer, perlu diperhatikan lebih serius.
Namanya juga selfie; mereka memasang tampang imut, keren, atau gestur-gestur
lain yang menunjukkan ketangguhan mereka. Sementara, di sampingnya, hewan
buruan yang notabene hewan langka yang telah terbujur kaku masih tetap
‘dipaksa’ untuk berpose selfie.
Dalam kasus ini, terlihat bagaimana sifat alamiah manusia yang
cenderung perusak, meski dikatakan bahwa manusia diutus ke bumi adalah sebagai
khalifah. Tidak main-main, daya penghancur yang ada pada makhluk bernama
manusia ini sangatlah tinggi. Bahkan, segala cara akan ditempuh untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Contoh paling mudah, masih ingatkah film
Avatar buatan James Cameron yang rilis beberapa tahun lalu? Dalam film itu
ditunjukkan bahwa betapa daya penghancur manusia sangatlah mengerikan.
Eksploitasi alam. Penambangan sumber daya alam yang masif,
perburuan hewan serta pembukaan lahan produktif yang tak terkontrol seakan
menjadi berita sehari-hari. Sebagai wilayah hijau yang (dulu) merupakan
paru-paru dunia, Indonesia mempunyai semua itu; sumber daya alam berlimpah,
baik di permukaan atau di dalam perut bumi.
Hanya sekedar berbagi kisah. Konon di suatu tempat hidup seorang
yang pandai. Cukup disegani oleh masyarakat. Tetapi orang pandai itu mempunyai
hobi yang merusak, yaitu mencari ikan dengan cara menyetrum. Bukan apa-apa,
hanya saja bagaimana mungkin seorang yang pandai serta berwawasan bisa
melakukan hal itu? Dan hampir setiap hari ia melakukan itu. Jika sungai adalah
suatu negara, dan ikan-ikan di dalamnya adalah rakyat, maka bukankah sama saja
orang itu melakukan genosida? Pembunuhan massal yang terencana dan sistematis
untuk menghilangkan suatu ras (lebih tepatnya suatu spesies) dari bumi.
Apa sih yang sebenarnya dicari oleh orang-orang semacam itu?
Kepuasan? Atau apa? Jika mencari kepuasan, kepuasan macam apa itu, yang puas
setelah membunuh. Bahkan memamerkan ke orang lain dengan bangganya.
Dengan melihat segala tanda-tanda yang ada di sekitar, meski ada
kemajuan di bidang-bidang tertentu, tidak bisa dipungkiri bahwa secara mental
spriritual manusia secara umum mengalami kemunduran. Keliru jika menyebut bahwa
peradaban lampau lebih primitif dibandingkan dengan peradaban modern saat ini;
manusia yang hidup di masa silam berburu sesuai dengan kebutuhan, mereka juga
berusaha untuk membuat sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh mereka.
Sementara, pemandangan yang cukup kontras tersaji di era milenium; perburuan
untuk memuaskan nafsu, dan semakin banyak orang-orang yang hanya mengenakan
pakaian seadanya di muka umum sementara ada pakaian yang lebih pantas.
Kemunduran.
Kemunduran juga dialami manusia modern terkait dengan kemampuannya
untuk membaca tanda-tanda alam atau sasmita. Terlihat di sini bahwa kemajuan
teknologi yang pesat malah menghilangkan kemampuan manusia untuk membaca alam.
Padahal, nenek moyang Indonesia adalah orang-orang tangguh yang bisa membaca tanda-tanda
alam yang bisa digunakan sebagai pemandu sebelum melakukan sesuatu.
Maka yang perlu diingat adalah nasihat dari simbah-simbah kita
dulu, bahwa manusia hidup di dunia ini harus selalu eling lan waspada, serta
ojo dumeh.
Nadyan sira pinunjul | Nanging aja sira njur keladuk | ngelingana
wong urip anggendhong lali | Den elingo urip iku | Prayoga ingkang prasaja ||
Tembang macapat Gambuh tersebut harap selalu diingat. Bahwa meski
manusia itu adalah makhluk unggul dan diciptakan lebih baik dari seluruh makhluk
Tuhan di dunia, janganlah kemudian menjadi sombong, angkuh, atau tamak karena
sebenarnya manusia itu selalu membawa sifat ‘lupa’ di dalam dirinya. Ingatlah
bahwa hidup sederhana itu lebih baik.
0 comments:
Post a Comment