Dalam urutan
aksara Jawa, setelah “ra” adalah aksara “ka”. Sama seperti aksara-aksara
sebelumnya, aksara “ka” juga mempunyai maknanya sendiri. Aksara “ka” secara
sederhana mempunyai makna “berkumpul.” Di sini, makna “berkumpul” bisa
diartikan bahwa pada setiap manusia mempunyai sifat-sifat ke-ilahi-an,
disamping juga sifat-sifat buruk. Maka, berkumpulnya kedua sifat tersebut di
dalam diri manusia seringkali memunculkan pertentangan-pertentangan yang
berkecamuk di dalam diri manusia.
Namun, ketika
manusia bisa mengelola dengan baik sifat-sifat ke-ilahi-an yang ada di dalam
diri, yang terjadi adalah kemudian makna yang lebih mendalam daripada
“berkumpul”, yaitu sifat yang lebih luas, yang berkaitan dengan hubungan antara
manusia dana lam semesta, yaitu “Karsaningsun Hamemayuhayuning Bawana.” Sudah
banyak diketahui bahwa “Hamemayuhayuning Bawana” adalah salah satu perwujudan
bahwa manusia adalah khalifah di bumi.
Terkait dengan
khalifah, ada satu hal yang menarik untuk dibahas. Bahwa pengertian khalifah
adalah “pemimpin” atau juga bisa sebagai “pemelihara”, namun disini, pemimpin
yang bagaimana? Atau pemimpin di bumi bagian apa? Secara sederhana, pemimpin yang
baik selalu ditaati oleh bawahannya, maka ketika pemimpin itu memerintahkan
sesuatu, maka bawahannya akan langsung mengerjakannya. Nah, terkait dengan
manusia sebagai khalifah di bumi, seharusnya jika manusia memimpin dan
mengelola alam dengan baik, maka alam (bumi) akan mematuhi manusia. Sebagai
contoh, pada zaman dahulu, sering terdengar kisah-kisah bahwa ada orang-orang
sakti yang bisa berjalan di atas air, atau terbang menggunakan pelepah pisang,
dan sebagainya.
Terlepas dari
hal itu, bahwa manusia memang harus mempunyai semangat “Hamemayuhayuning
Bawana”, terutama pada era sekarang dimana modernisasi dan industrialisasi
berkembang dengan cepat. Banyaknya kasus kebakaran hutan, manusia secara umum
harus bertanggung jawab. Perilaku ceroboh serta tamak untuk mengeksploitasi
kekayaan alam tanpa memperhatikan kelangsungan hidup makhluk lain merupakan
sifat-sifat yang jauh dari semangat “Hamemayuhayuning Bawana.”
Sikap
“Hamemayuhayuning Bawana” bukan hanya menikmati keindahan alam, kemudian
berfoto-foto di alam bebas. Lebih dari itu, “Hamemayuhayuning Bawana” adalah
sikap menjaga kelestarian lingkungan. Ketika beberapa waktu lalu sebuah berita
tentang kebakaran hutan di Gunung Lawu disebabkan oleh api unggun para pendaki,
yang notabene adalah “pecinta alam”, tentu saja mengejutkan. Lalu juga, tren
yang muncul di media sosial yang memamerkan hewan buruan yang merupakan
hewan-hewan langka yang dilindungi. Yang bisa ditarik persamaan dari itu semua,
rata-rata pelaku masih merupakan remaja. Cukup memprihatinkan.
Selain bahwa
makna aksara “ka” adalah “berkumpul” yang kemudian memunculkan sifat
“melestarikan dan menjaga kesejahteraan alam”, aksara “ka” bisa digabungkan
dengan aksara lain untuk memunculkan makna lain. Kata “kama” yang penggabungan
dari aksara “ka” dan “ma” bisa berarti benih, bibit atau biji. Makna kata ini
sangat dekat kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Yaitu
ketika berkumpulnya laki-laki dan perempuan dan saling memberikan bibit, benih,
atau bijinya masing-masing untuk bersatu dan menjadi sebuah kehidupan yang
baru.
Dari benih
laki-laki dan perempuan, kehidupan di bumi akan terjaga. Ketika dua manusia
laki-laki dan perempuan saling berkumpul untuk menyatukan raga, menyatukan
rasa, maka penyatuan benih dari kedua manusia laki-laki dan perempuan akan
memberikan kehidupan yang baru. Kehidupan baru inilah yang nantinya akan
meneruskan tugas sebagai khalifah di bumi, menjaga serta memimpin bumi dengan
semangat “Hamemayuhayuning Bawana.”
jeru
ReplyDelete