Sunday, October 25, 2015

Edisi Aksara Jawa: Makna Aksara “Ka”

Dalam urutan aksara Jawa, setelah “ra” adalah aksara “ka”. Sama seperti aksara-aksara sebelumnya, aksara “ka” juga mempunyai maknanya sendiri. Aksara “ka” secara sederhana mempunyai makna “berkumpul.” Di sini, makna “berkumpul” bisa diartikan bahwa pada setiap manusia mempunyai sifat-sifat ke-ilahi-an, disamping juga sifat-sifat buruk. Maka, berkumpulnya kedua sifat tersebut di dalam diri manusia seringkali memunculkan pertentangan-pertentangan yang berkecamuk di dalam diri manusia.
Namun, ketika manusia bisa mengelola dengan baik sifat-sifat ke-ilahi-an yang ada di dalam diri, yang terjadi adalah kemudian makna yang lebih mendalam daripada “berkumpul”, yaitu sifat yang lebih luas, yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dana lam semesta, yaitu “Karsaningsun Hamemayuhayuning Bawana.” Sudah banyak diketahui bahwa “Hamemayuhayuning Bawana” adalah salah satu perwujudan bahwa manusia adalah khalifah di bumi.
Terkait dengan khalifah, ada satu hal yang menarik untuk dibahas. Bahwa pengertian khalifah adalah “pemimpin” atau juga bisa sebagai “pemelihara”, namun disini, pemimpin yang bagaimana? Atau pemimpin di bumi bagian apa? Secara sederhana, pemimpin yang baik selalu ditaati oleh bawahannya, maka ketika pemimpin itu memerintahkan sesuatu, maka bawahannya akan langsung mengerjakannya. Nah, terkait dengan manusia sebagai khalifah di bumi, seharusnya jika manusia memimpin dan mengelola alam dengan baik, maka alam (bumi) akan mematuhi manusia. Sebagai contoh, pada zaman dahulu, sering terdengar kisah-kisah bahwa ada orang-orang sakti yang bisa berjalan di atas air, atau terbang menggunakan pelepah pisang, dan sebagainya.
Terlepas dari hal itu, bahwa manusia memang harus mempunyai semangat “Hamemayuhayuning Bawana”, terutama pada era sekarang dimana modernisasi dan industrialisasi berkembang dengan cepat. Banyaknya kasus kebakaran hutan, manusia secara umum harus bertanggung jawab. Perilaku ceroboh serta tamak untuk mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhatikan kelangsungan hidup makhluk lain merupakan sifat-sifat yang jauh dari semangat “Hamemayuhayuning Bawana.”
Sikap “Hamemayuhayuning Bawana” bukan hanya menikmati keindahan alam, kemudian berfoto-foto di alam bebas. Lebih dari itu, “Hamemayuhayuning Bawana” adalah sikap menjaga kelestarian lingkungan. Ketika beberapa waktu lalu sebuah berita tentang kebakaran hutan di Gunung Lawu disebabkan oleh api unggun para pendaki, yang notabene adalah “pecinta alam”, tentu saja mengejutkan. Lalu juga, tren yang muncul di media sosial yang memamerkan hewan buruan yang merupakan hewan-hewan langka yang dilindungi. Yang bisa ditarik persamaan dari itu semua, rata-rata pelaku masih merupakan remaja. Cukup memprihatinkan.
Selain bahwa makna aksara “ka” adalah “berkumpul” yang kemudian memunculkan sifat “melestarikan dan menjaga kesejahteraan alam”, aksara “ka” bisa digabungkan dengan aksara lain untuk memunculkan makna lain. Kata “kama” yang penggabungan dari aksara “ka” dan “ma” bisa berarti benih, bibit atau biji. Makna kata ini sangat dekat kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Yaitu ketika berkumpulnya laki-laki dan perempuan dan saling memberikan bibit, benih, atau bijinya masing-masing untuk bersatu dan menjadi sebuah kehidupan yang baru.
Dari benih laki-laki dan perempuan, kehidupan di bumi akan terjaga. Ketika dua manusia laki-laki dan perempuan saling berkumpul untuk menyatukan raga, menyatukan rasa, maka penyatuan benih dari kedua manusia laki-laki dan perempuan akan memberikan kehidupan yang baru. Kehidupan baru inilah yang nantinya akan meneruskan tugas sebagai khalifah di bumi, menjaga serta memimpin bumi dengan semangat “Hamemayuhayuning Bawana.”

1 comments:

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger