Wednesday, November 30, 2011

Sejarah dan Sastra (Nasional)

Pada tanggal 28 November 2011 kemarin saya mengikuti kuliah umum yang diselenggarakan oleh Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sebenarnya peserta kuliah umum ini terbatas hanya untuk dosen dan mahasiswa pascasarjana; akan tetapi dengan sedikit usaha, saya dan dua orang teman akhirnya bisa menyelinap masuk diantara dosen-dosen dan mahasiswa pascasarjana.
Kuliah umum ini mengangkat tema “Indonesia Dulu, Kini, dan Masa Depan dalam Perspektif Pendidikan”, dengan pembicara Professor Max Lane dari Universitas Melbourne, Australia. Setelah molor beberapa menit, seperti kebiasaan masyarakat Indonesia, akhirnya kuliah umum ini dimulai dengan pandangan pembicara tentang Indonesia dari berbagai segi, mulai ekonomi, hingga politik.

Satu hal yang menarik adalah bahwa Prof. Lane yang ternyata bersahabat cukup dekat dengan sastrawan almarhum W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer ini mengutarakan tentang cara agar Indonesia mampu menjadi bangsa yang lebih baik, yaitu dengan memahami sejarah dan sastra nasional. Bahkan lanjutnya, Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang tidak mengajarkan sastra (nasional) sebagai suatu mata kuliah wajib. Menurutnya, sastra (nasional) Indonesia sangat kaya dengan ingatan masa lalu ketika bagaimana para tokoh-tokoh zaman dahulu memulai membangun negeri ini, hingga zaman modern reformasi sekarang.
Siswa-siswa sekolah di Indonesia mempelajari sastra hanya terbatas pada menghafal judul novel, pengarang, dan ditambah tahun terbit. Itu sangat berbeda dengan di Amerika misalnya, ketika para siswa disana diminta menganalisa pidato George Bush, atau Martin Luther King. Dengan menganalisa karya sastra, secara perlahan pola pikir juga akan terbentuk dengan sendirinya. Maka, apabila misalnya siswa-siswi sekolah di Indonesia, minimal siswa SMA mempelajari karya sastra nasional, maka pola pikir yang terbentuk adalah pola pikir nasional, bukan pola pikir ala Harry Potter atau Twilight.
Karya sastra memang mempunyai pengaruh yang cukup penting. Industri penerbitan buku di Indonesia pun didominasi oleh buku-buku terjemahan, mulai dari novel-novel hingga buku-buku tentang motivasi atau bisnis. Padahal banyak penulis-penulis lokal hebat yang mungkin mempunyai karya yang layak untuk diterbitkan. Sama seperti industri musik, industri perbukuan juga menginginkan dagangannya laku keras.
Terlepas dari bagaimana ke depannya setelah mempelajari karya sastra, memang seharusnya siswa-siswi SMA harus memperoleh pelajaran tentang sastra. Seperti postingan sebelumnya bahwa sastra jawa dapat digunakan sebagai pintu gerbang memasuki budaya jawa, maka sastra nasional (seharusnya) dapat digunakan sebagai pintu masuk menuju nasionalisme sejati yang berlandaskan pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.

4 comments:

  1. ..memang dengan mempelajari sastra nasional itu memiliki potensi besar dalam pengembangan nasionalisme bagi pemuda Indonesia, akan tetapi memang perlu dimengerti pula bahwa mempelajari sastra Indonesia ini yang benar-benar sastra memang tidak semudah mempelajari sastra pop barat yang hampir semuanya menggunakan bahasa sederhana yang menarik dan memiliki tema yang dekat dengan pasar anak muda, khususnya pelajar SMA. Saya sendiri sudah sedikit banyak membaca tulisan-tulisan yang benar-benar layak dikatakan sebagai sastra, dan itu memang sedikit rumit untuk dipelajari oleh siswa SMA. Yang terjadi malah, penulis-penulis jaman sekarang yang memang paham mengenai pasar pembaca yang segmennya adalah remaja usia itu sering abai dengan kaidah berbahasa yang sesuai dengan yang EYD, mereka lebih senang menggunakan bahasa gaul dan slank yang terlihat lebih menarik. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya-karya semacam itu layak untuk bisa membawa anak muda masuk ke dalam gerbang nasionalisme, sedangkan arus pergeseran sastra itu terus menyeret mereka pada ke-absurd-an makna sastra yang sesungguhnya?
    ..saya juga sedikit banyak pernah bergaul dengan anak muda usia SMA selama saya mengajar beberapa waktu lalu. Hal yang membuat saya sedikit mengernyitkan dahi adalah ketika mendapati fakta bahwa di antara mereka [terutama yang tinggal di daerah], hanya segelintir siswa saja yang memiliki minat membaca. Boro-boro teks sastra ta mas, saya sodori komik saja banyak yang enggan. Jadi, jika ini memang ingin di masukkan ke dalam kurikulum untuk siswa SMA, sebaiknya harus ada perbaikan terlebih dahulu terhadap pola pikir peserta didik sejak jenjang pendidikan sebelumnya.

    ReplyDelete
  2. sepakat...
    kita tunggu saja apakah yang terkait menyadari hal ini atau menunggu untuk disadarkan?

    ReplyDelete
  3. Ayo buruan dimulai artikel review kami. Ditunggu yah gan. Biar hadiah siap meluncur. Hehe.

    ReplyDelete

 

Copyright © nglengkong Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger